Selamat Datang di blog IKAHI DIY

Selamat Datang di blog Ikatan Hakim Indonesia Derah Istimewa Yogyakarta (IKAHI DIY)
Blog ini merupakan forum silaturahmi para anggota IKAHI DIY yang menghadirkan berbagai kegiatan dan dokumentasi kegiatan anggota IKAHI DIY beserta berbagai analisa dan artikel hukum serta hasil tulisan beberapa anggota IKAHI DIY. Seluruh artikel dan penelitian hukum berikut diperbolehkan untuk dikutip maupun didistribusikan kepada publik guna tujuan pendidikan, penelitian ilmiah, kritisisasi dan review penulisan dengan catatan tetap mencantumkan nama penulis atau peneliti yang bersangkutan. Blog ini dibuat agar seluruh anggota baik pengurus maupun non pengurus bisa memantau segala kegiatan atau informasi dari IKAHI DIY secara online. Semoga Bermanfaat.

Selasa, 07 Juni 2011

PP Nomor 26 Tahun 1991

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 1991
TENTANG
TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN
TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA SERTA
HAK-HAK HAKIM AGUNG DAN HAKIM YANG DIKENAKAN
PEMBERHENTIAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Hakim Agung dan Hakim adalah pejabat yang melaksanakan kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa sehubungan dengan kedudukannya sebagaimana tersebut pada huruf a, syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung dan Hakim perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri;
c. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 15, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal 24 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 24 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat dan Pemberhentian Sementara serta Hak-hak Hakim Agung dan Hakim yang Dikenakan Pemberhentian;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344);
6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA, SERTA HAK-HAK HAKIM AGUNG DAN HAKIM YANG DIKENAKAN PEMBERHENTIAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Hakim Agung adalah Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Anggota pada Mahkamah Agung.
2. Pimpinan Mahkamah Agung adalah Ketua, Wakil Ketua dan Ketua Muda Mahkamah Agung.
3. Hakim adalah Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama.
4. Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Majelis Kehormatan Hakim adalah Majelis yang memeriksa dan menerima pengajuan pembelaan diri Hakim Agung dan Hakim serta memberikan pertimbangan, pendapat dan saran atas pembelaan diri tersebut.
5. Menteri adalah Menteri Kehakiman bagi Hakim pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara serta Menteri Agama bagi Hakim pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

BAB II
PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT
DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA SERTA HAK-HAK HAKIM AGUNG DAN HAKIM
YANG DIKENAKAN PEMBERHENTIAN

Bagian Pertama
Pemberhentian Dengan Hormat

Pasal 2
(1) Hakim Agung dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri secara tertulis;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus berdasarkan Surat Keterangan Tim Penguji Kesehatan;
c. telah mencapai batas usia pensiun;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas;
e. meninggal dunia.
(2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diusulkan kepada Presiden oleh:
a. Pimpinan Mahkamah Agung bagi Hakim Agung;
b. Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung bagi Hakim.
(3) Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c:
a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung adalah 65 tahun;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara serta Pengadilan Tinggi Agama adalah 63 tahun;
c. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara serta Pengadilan Agama adalah 60 tahun.

Pasal 3
Pemberhentian dengan hormat dari jabatan Hakim Agung atau Hakim tidak dengan sendirinya diikuti pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, kecuali Hakim Agung atau Hakim yang bersangkutan:
a. mohon berhenti sebagai Pegawai Negeri Sipil;
b. berdasarkan surat keterangan Tim Penguji Kesehatan tidak dapat melaksanakan tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil;
c. mencapai batas usia pensiun.
Pasal 4
Keputusan tentang pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Hakim Agung dan Hakim yang diberhentikan dengan hormat memperoleh hak-hak kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6
Pimpinan Mahkamah Agung memberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat setelah menerima Keputusan Presiden tentang pemberhentian dengan hormat Hakim Agung.
Bagian Kedua
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat

Pasal 7
Hakim Agung dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam melaksanakan tugas pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan perangkapan jabatan Hakim Agung atau Hakim.
Pasal 8
Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a diusulkan kepada Presiden setelah Hakim Agung dan Hakim tersebut dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 9
(1) Pemeriksaan terhadap Hakim Agung dan Hakim yang diduga telah melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b sampai dengan huruf e, dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Agung bagi Hakim Agung dan oleh Majelis Kehormatan Hakim bagi Hakim.
(2) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Hakim Agung dan Hakim yang bersangkutan dan disampaikan masing-masing kepada Pimpinan Mahkamah Agung bagi Hakim Agung, kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri bagi Hakim.

Pasal 10
(1) Kepada Hakim Agung dan Hakim diberikan kesempatan untuk membela diri dalam tenggang waktu 30 hari setelah diterimanya pemberitahuan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan di depan:
a. Majelis Kehormatan Mahkamah Agung bagi Hakim Agung; dan
b. Majelis Kehormatan Hakim bagi Hakim.
(3) Hak membela diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gugur apabila Hakim Agung atau Hakim yang bersangkutan telah menggunakan haknya pada waktu akan diberhentikan sementara dari jabatannya.

Pasal 11
(1) Majelis Kehormatan Mahkamah Agung memberikan pertimbangan, pendapat dan saran kepada Pimpinan Mahkamah Agung atas pembelaan diri Hakim Agung.
(2) Majelis Kehormatan Hakim memberikan pertimbangan, pendapat dan saran kepada Menteri dan Ketua Mahkamah Agung atas pembelaan diri Hakim.
(3) Pertimbangan, pendapat dan saran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh Majelis Kehormatan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya pembelaan diri Hakim Agung atau Hakim yang bersangkutan.
(4) Dalam hal Majelis Kehormatan memandang perlu adanya penjelasan tambahan atas keterangan-keterangan yang dituangkan dalam pembelaan diri Hakim Agung atau Hakim maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 12
(1) Pimpinan Mahkamah Agung setelah memperhatikan hasil pemeriksaan dan pertimbangan, pendapat dan saran Majelis Kehormatan Mahkamah Agung mengajukan usul pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Agung yang bersangkutan kepada Presiden.
(2) Menteri setelah memperhatikan hasil pemeriksaan dan pertimbangan, pendapat dan saran Majelis Kehormatan Hakim, dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung mengajukan usul pemberhentian tidak dengan hormat Hakim kepada Presiden.

Pasal 13
Pimpinan Mahkamah Agung segera memberitahukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat setelah menerima Keputusan Presiden tentang pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Agung.
Pasal 14
(1) Pemberhentian tidak dengan hormat dari jabatan Hakim berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diikuti dengan pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula dalam hal Hakim Agung berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(3) Keputusan tentang pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil, diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Pemberhentian Sementara

Pasal 15
Hakim Agung atau Hakim diberhentikan sementara, dalam hal dikenakan perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan.
Pasal 16
Hakim Agung dan Hakim dapat diberhentikan sementara dari jabatannya:
a. sebelum diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
b. karena dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan.

Pasal 17
(1) Pemberhentian sementara Hakim Agung dengan alasan telah melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b sampai dengan huruf c diusulkan oleh Pimpinan Mahkamah Agung kepada Presiden berdasarkan pertimbangan masih diperlukannya bukti-bukti tentang kesalahan Hakim Agung yang bersangkutan.
(2) Pemberhentian sementara Hakim dengan alasan dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diusulkan oleh Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden.

Pasal 18
Hakim Agung dan Hakim yang diberhentikan sementara dari jabatannya tidak memperoleh tunjangan jabatan.
Pasal 19
(1) Apabila perbuatan yang menjadi alasan Hakim Agung dan Hakim dikenakan pemberhentian sementara ternyata tidak terbukti, maka kepada Presiden diusulkan pembatalan pemberhentian sementara tersebut.
(2) Pengusulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung apabila menyangkut pemberhentian sementara Hakim Agung dan oleh Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung apabila menyangkut pemberhentian sementara Hakim.
(3) Dengan pembatalan pemberhentian sementara, jabatan Hakim Agung atau Hakim beserta jabatan dan hak lainnya dikembalikan seperti semula kepada yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 20
(1) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diikuti dengan pemberhentian tidak dengan hormat, apabila:
a. Hakim Agung atau Hakim berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap terbukti bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. Hakim Agung berdasarkan pertimbangan Pimpinan Mahkamah Agung dan Hakim berdasarkan pertimbangan Menteri Kehakiman dengan Ketua Mahkamah Agung ternyata melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b sampai dengan huruf e.
(2) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 berlaku terhadap pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat tersebut ayat (1).

BAB III
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 21
Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil tidak berlaku terhadap hal-hal yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22
Peraturan Pemerintah ini dapat disebut Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pemberhentian Hakim Agung dan Hakim.
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Mei 1991
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Mei 1991
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO
________________________________________
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
________________________________________
No. 3440 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 34)



PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 1991
TENTANG
TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT,
PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT DAN
PEMBERHENTIAN SEMENTARA SERTA HAK-HAK HAKIM AGUNG
DAN HAKIM YANG DIKENAKAN PEMBERHENTIAN

UMUM
Bahwa Hakim Agung dan Hakim adalah Pejabat yang melaksanakan kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara Hukum RI berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, oleh karena itu syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Oleh karena itu, dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dicantumkan sebagai suatu kekhususan bahwa syarat-syarat untuk dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Hakim dan tata cara pengangkatan serta pemberhentiannya ditentukan dengan Undang-undang. Adapun alasan pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat dan pemberhentian sementara dari jabatan Hakim Agung atau Hakim sudah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara serta hak-hak Hakim Agung atau Hakim yang diberhentikan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena materi pokok yang perlu diatur sebagai pelaksanaan Pasal 15 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal 24 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 24 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pada dasarnya adalah sama maka dipandang lebih tepat untuk mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah sebagai satu kesatuan.
Sesuai dengan ketentuan Undang-undang tersebut, kepada Hakim Agung atau Hakim diberikan kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung atau Majelis Kehormatan Hakim.
Kesempatan tersebut diberikan kepada yang bersangkutan sebelum diusulkan kepada Presiden selaku Kepala Negara untuk diberhentikan tidak dengan hormat atau diberhentikan sementara.
Majelis Kehormatan Mahkamah Agung memberikan pertimbangan, pendapat dan saran mengenai pembelaan diri Hakim Agung kepada Pimpinan Mahkamah Agung, sedangkan Majelis Kehormatan Hakim memberikan pertimbangan, pendapat dan saran mengenai pembelaan diri Hakim kepada Menteri serta Ketua Mahkamah Agung.
Untuk menjamin obyektifitas, maka usul pemberhentian Hakim Agung didasarkan kepada hasil rapat Pimpinan Mahkamah Agung, sedangkan pengusulan pemberhentian Hakim didasarkan kepada kesepakatan Menteri dengan Ketua Mahkamah Agung.
Sesuai dengan makna yang digariskan dalam penjelasan umum butir 6 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, maka kesepakatan tersebut diambil dalam forum konsultasi Mahkamah Agung dengan Departemen.
Dalam hal pemberhentian sementara, bagi Hakim Agung tenggang waktunya telah disebutkan dalam penjelasan Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, yaitu selama-lamanya 2 (dua) kali 6 (enam) bulan.
Mengingat bahwa bagi Hakim tenggang waktu tersebut belum diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 serta Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maka jangka waktu pemberhentian sementara yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan berlaku pula untuk Hakim.
Apabila Hakim Agung atau Hakim yang diberhentikan sementara ternyata tidak terbukti melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemberhentian sementara tersebut, maka yang bersangkutan dikembalikan dalam jabatan semula dan diberikan hak-hak kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan jabatan adalah jabatan sebagai Hakim Agung atau sebagai Hakim. Dengan demikian apabila yang bersangkutan diberhentikan dari jabatan Hakim Agung atau Hakim akan berakibat pula terhadap jabatan lain yang dipangkunya.
Huruf a
Permohonan berhenti dengan hormat diajukan sendiri oleh Hakim Agung yang bersangkutan secara tertulis kepada Pimpinan Mahkamah Agung, dan permohonan berhenti dengan hormat seorang Hakim diajukan secara tertulis kepada Menteri.
Huruf b
Dalam hal Hakim Agung sakit jasmani atau rohani terus-menerus, Pimpinan Mahkamah Agung meminta kepada Tim Penguji Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila yang akan diperiksa adalah seorang Hakim, permintaan tersebut disampaikan oleh Menteri.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Sesuai dengan penjelasan Pasal 11 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal 19 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Pasal 18 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, ketidakcakapan dalam melaksanakan tugas, misalnya karena banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugas sebagai Hakim Agung atau Hakim.
Bagi Hakim Agung, penilaian ketidakcakapan tersebut didasarkan atas hasil pemeriksaan Pimpinan Mahkamah Agung, sedangkan bagi Hakim didasarkan atas hasil pemeriksaan Ketua Mahkamah Agung bersama-sama dengan Menteri.
Huruf e
Termasuk dalam pengertian meninggal dunia adalah hilang atau tewas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Huruf a
Surat yang berisikan usul pemberhentian tersebut ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung setelah membicarakannya dengan pimpinan Mahkamah Agung lainnya.
Dalam hal usul pemberhentian menyangkut Ketua Mahkamah Agung, maka usul tersebut ditandatangani oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Muda yang paling senior apabila Wakil Ketua berhalangan.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (3)
Usia pensiun Hakim Agung dan Hakim telah ditetapkan masing-masing dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.

Pasal 3
Materi Pasal ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, dan Pasal 20 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.

Pasal 4
Pada saat ditetapkan Peraturan Pemerintah ini, peraturan perundang-undangan yang mengatur wewenang pemberhentian Pegawai Negeri Sipil adalah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 5
Hak-hak kepegawaian Hakim Agung dan Hakim yang diberhentikan dengan hormat antara lain meliputi hak-hak yang diatur dalam:
1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.
2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri.

Pasal 6
Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 11 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, pemberhentian dengan hormat Hakim Agung diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Mengingat pemberitahuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan secara tertulis, maka surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal yang diberhentikan adalah Ketua Mahkamah Agung, maka surat pemberitahuan kepada DPR ditandatangani oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Muda yang paling senior apabila Wakil Ketua berhalangan.

Pasal 7
Alasan-alasan pemberhentian tidak dengan hormat dalam Pasal ini adalah sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" sebagaimana tersebut dalam Undang-undang yang menjadi landasan Peraturan Pemerintah ini ialah apabila Hakim Agung atau Hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan merendahkan martabat dan kehormatannya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaan" sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ialah semua tugas yang dibebankan kepada yang bersangkutan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Jabatan-jabatan yang dilarang untuk dirangkap Hakim Agung dan Hakim adalah sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang dan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8
Hakim Agung dan Hakim yang dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap segera diusulkan pemberhentian tidak dengan hormat kepada Presiden.
Dalam hal Hakim yang bersangkutan bertugas di lingkungan Pengadilan Tingkat I, atau Pengadilan Tingkat Banding maka Ketua Pengadilan harus secepatnya menyampaikan adanya keputusan Pengadilan dimaksud kepada Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Tenggang waktu tersebut terhitung dari tanggal penerimaan hasil pemeriksaan oleh Hakim Agung atau Hakim yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Usul pemberhentian tidak dengan hormat oleh pimpinan Mahkamah Agung dilampiri dengan pembelaan diri Hakim Agung yang bersangkutan serta pertimbangan, pendapat dan saran Majelis Kehormatan Mahkamah Agung.
Lihat pula isi Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf a.
Ayat (2)
Apabila menyangkut Hakim, usul sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dilampiri dengan pembelaan diri Hakim yang bersangkutan dan disertai dengan pertimbangan, pendapat dan saran Majelis Kehormatan Hakim.

Pasal 13
Lihat Penjelasan Pasal 6 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf a.

Pasal 14
Ayat (1)
Apabila alasan-alasan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Hakim adalah juga merupakan dasar pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka pemberhentian tidak dengan hormat seorang Hakim dari jabatannya dapat diikuti dengan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 beserta penjelasannya dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Hakim Agung dapat diikuti dengan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 15
Sesuai dengan makna Pasal 14 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal 23 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 23 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Hakim Agung dan Hakim yang dikenakan perintah penahanan oleh pejabat yang berwenang, diberhentikan sementara dari jabatannya.
Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut mengandung arti bahwa pemberhentian sementara dari jabatan secara langsung dilakukan terhadap Hakim Agung dan Hakim apabila yang bersangkutan disangka atau didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang disusuli dengan perintah penangkapan dan penahanan. Sedangkan terhadap Hakim Agung dan Hakim yang disangka, atau didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan tetapi tidak diikuti dengan penangkapan dan penahanan dapat diberhentikan sementara.

Pasal 16
Huruf a
Tindakan pemberhentian sementara dapat dilakukan terhadap Hakim Agung atau Hakim yang dinilai telah melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah ini yang diancam dengan pemberhentian tidak dengan hormat. Namun demikian tidaklah berarti pemberhentian sementara akan selalu dilakukan sebelum Hakim Agung atau Hakim diberhentikan tidak dengan hormat.
Dalam hal Hakim Agung dan Hakim diduga melakukan tindak pidana kejahatan, maka langkah ini diambil menunggu putusan badan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang akan menentukan bersalah atau tidak bersalahnya Hakim Agung dan Hakim yang bersangkutan melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam hal Hakim Agung dan Hakim dipersalahkan melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b sampai dengan huruf c, maka tindakan pemberhentian sementara dilaksanakan sambil menunggu kelengkapan pembuktian atas kesalahan yang dituduhkan kepada Hakim Agung dan Hakim yang bersangkutan.
Huruf b
Ketentuan ini adalah sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal 23 ayat (2) masing-masing Undang- undang Nomor 2 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 serta Pasal 24 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.
Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 menentukan bahwa pelaku tindak pidana yang tercantum dalam pasal dimaksud dapat dikenakan tindakan penahanan. Hakim Agung atau Hakim yang dituntut melakukan salah satu tindak pidana yang ditampung dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 walaupun tanpa ditahan, dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.

Pasal 17
Ayat (1)
Untuk membuktikan, misalnya bahwa seorang Hakim Agung telah melakukan perbuatan tercela sebagaimana dimaksud oleh Pasal 7, diperlukan waktu yang cukup. Namun sambil menunggu hasil penelitian dan pemeriksaan oleh Pimpinan Mahkamah Agung atas perbuatan yang diduga dilakukan Hakim Agung tersebut maka sebagai langkah pendahuluan dan pengamanan dapat diusulkan kepada Presiden tindakan pemberhentian sementara.
Langkah ini adalah dimaksudkan untuk menjaga nama baik jabatan Hakim Agung, khususnya dalam peristiwa-peristiwa yang sedemikian rupa telah mempengaruhi citra Hakim di mata masyarakat. Selain itu, tindakan pemberhentian sementara dapat pula dilakukan demi untuk kelancaran pemeriksaan.
Ayat (2)
Lihat Penjelasan ayat (1).

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)
Dalam usul pembatalan pemberhentian sementara dari jabatan Hakim Agung atau Hakim tersebut, termasuk asal usul rehabilitasi; dan apabila Hakim Agung atau Hakim yang bersangkutan ditahan harus segera dikeluarkan dari tahanan.
Ayat (2)
Mengenai prosedur pengusulan tertulis kepada Presiden, lihat Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf a.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemberhentian sementara Hakim Agung atau Hakim pada hakekatnya merupakan satu kesatuan proses dengan pemberhentian tidak dengan hormat. Ini berarti bahwa kesempatan untuk membela diri bagi Hakim Agung atau Hakim sebagai bagian dari proses tersebut hanya diberikan satu kali.

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

ke atas
________________________________________
(c)2010 Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info || Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar