Selamat Datang di blog IKAHI DIY

Selamat Datang di blog Ikatan Hakim Indonesia Derah Istimewa Yogyakarta (IKAHI DIY)
Blog ini merupakan forum silaturahmi para anggota IKAHI DIY yang menghadirkan berbagai kegiatan dan dokumentasi kegiatan anggota IKAHI DIY beserta berbagai analisa dan artikel hukum serta hasil tulisan beberapa anggota IKAHI DIY. Seluruh artikel dan penelitian hukum berikut diperbolehkan untuk dikutip maupun didistribusikan kepada publik guna tujuan pendidikan, penelitian ilmiah, kritisisasi dan review penulisan dengan catatan tetap mencantumkan nama penulis atau peneliti yang bersangkutan. Blog ini dibuat agar seluruh anggota baik pengurus maupun non pengurus bisa memantau segala kegiatan atau informasi dari IKAHI DIY secara online. Semoga Bermanfaat.

Artikel

Memutus Impunitas KDRT 
Oleh 
Abdul HamimJauzie *) 

Disahkannnya UU No. 23 Tahun 2004  tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) merupakan sebuah langkah yang menjadi titik tolak perubahan relasi domestik. KDRT kini tidak lagi dianggap sebagai “urusan pribadi rumah tangga seseorang”. KDRT merupakan kejahatan terhadap perempuan, dan kini menjadi “urusan negara". 
Hadirnya UU PKDRT yang diharapkan mampu menghapus KDRT, ternyata tidak mudah dalam implementasinya. Pelaku KDRT menjadi impunitas yang tak mampu dijamah oleh hukum. Setidaknya terdapat tiga hal yang mengkibatkan UU PKDRT tidak mampu menjamah pelaku KDRT dan menyeretnya ke meja hijau. Pertama;aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa dan hakim tidak memahami UU PKDRT. Kedua; aparat penegak hokum sesungguhnya sudah memahami UU PKDRT, namun mereka enggan melaksanakannya sebagai mana diatur UU PKDRT. Ketiga; perempuan yang mengalami KDRT (terpaksa) tidak memilih proses pidana, sebaliknya ia memilih proses perdata (perceraian) untuk melepaskan KDRT yang dialaminya.
  
Tidak memahami UU PKDRT 
Sebagaimana diungkapkan di atas, aparat penegak hokum banyak yang tidak memahami UU PKDRT. Untuk menjawab persoalan tersebut berbagai upaya sudah banyak dilakukan berbagai pihak. Komnas Perempuan misalnya, telah menerbitkan buku referensi bagi jaksa dan hakim dalam menangani KDRT. Sementara LBH APIK Jakarta telah berkali-kali mengadakan pelatihan bagi polisi, jaksa dan hakim. Bahkan khusus pelatihan bagi jaksa, LBH APIK Jakarta bersama Kejaksaan Agung telah menandatangani nota kesepahaman. WCC Rifka Annisa di Yogyakarta juga melakukan hal pelatihan yang sama. 
Polisi A/ Jaksa B/ Hakim C sudah pindah kedaerah D”. Demikian “keluh” para pendamping korban kerap terdengar. Para pendamping korban sungguh merasakan betapa sulitnya menemukan aparat penegak hukum yang memahami UU PKDRT. Perpindahan aparat penegak hukum yang pada umumnya sangat cepat mengakibatkan hasil yang didapat dari pelatihan tidak pernah “dinikmati” secara langsung oleh penyelenggara pelatihan (semisal LBH APIK Jakarta), sekalipun bisa “dinikmati” oleh korban/ lembaga pendamping di daerah lain dimana aparat penegak hokum dipindahtugaskan. 
Upaya-upaya sporadic seperti pelatihan-pelatihan bagi aparat penegak hokum yang selama ini dilakukan cukup menghabiskan energy berbagai pihak. Pengintegrasian UU PKDRT secara khusus ke dalam kurikulum pendidikan aparat penegak hokum menjadi sebuah keniscayaan agar semua aparat penegak hokum memahami UU PKDRT. 

Enggan melaksanakan 
Ada memang, aparat penegak hukum yang memahami UU PKDRT. Namun sebagaimana diungkapkan di atas, ada sebagian enggan melaksanakannya. Sebagai contohnya: pelaporan KDRT menurut ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU PKDRT dapat dilakukan dimana saja (bisa di tempat kejadian perkara/ TKP, tempat korban berada termasuk kediaman sementara), namun aparat kepolisian tidak pernah menerima laporan yang dilakukan diluar TKP. Polda Metro Jaya misalnya beralasan belum ada “mekanismenya”. Demikian juga MabesPolri.
 Selanjutnya, perlindungan terhadap korban yang secara tegas merupakan hak bagi korban KDRT(Pasal 10 UU PKDRT) sering kali tidak pernah dilakukan aparat kepolisian, padahal berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU PKDRT aparat kepolisian wajib memberikan perlidungan setelah adanya laporan KDRT. Masih dengan ucapan yang bernada sama, aparat kepolisian beralasan “belum ada petunjuk pelaksanaanya”. Demikian juga hakim ketika korban meminta perlindungan (protection order) dari pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU PKDRT.
Lebih aneh lagi pernahPenulis temukan ketika melakukan pendampingan korban, aparat kepolisian mengkategorikan KDRT yang dialami korban kedalam bentuk KDRT jenis fisik ringan lantaran korban masih bisa beraktivitas, yakni pergi ke kepolisian untuk melapor dan ke rumahsakit untuk melakukan visum.
 Penuntut Umum yang notabene mewakili kepentingan korban justeru tidak “berpihak” kepada korban. Penuntut Umum kerap kali menuntut pelaku KDRT hanya dengan pidana percobaan.
Federasi LBH APIK Indonesia bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan sejumlah lembaga saat tengah melakukan advokasi kebijakan untuk mempermudah impelementasi UU PKDRT dengan menyusun draft Standarisasi Penerapan UU PKDRT bagi polisi, jaksa dan hakim. Standarisasi itu diharapkan akan menjadi peraturan bersama dan menjadi acuan bersama bagi aparat penegak hukum.
  
Memilih bercerai 
Dari berbagai data lembaga pendamping korban, kebanyakan perempuan yang mengalami KDRT tidak memilih melaporkan ke kepolisian. Perempuan korban memilih bercerai sebagai cara melepas KDRT yang telah lama dialaminya. Ada banyak factor sebagai penyababnya; proses pidana dan perdata merupakan hal yang berbeda dan terpisah. Perempuan korban tidak banyak mempunyai “energi” untuk menjalanidua proses persidangan yang terpisah yakni pidana untuk KDRT yang dialaminya dan perdata untuk perceraiannya (Sulistyowati Irianto: 2008). Merupakan hal yang wajar jika perempuan korban merasakan lelah menghadapi dua persidangan. Penulis pernah mendampingi korban dengan proses di kepolisian yang memakan waktu dua tahun lebih. Juga di kejaksaan dan pengadilan yang memakan waktu lebih dari satu tahun yang kemudian pada akhirnya hanya dituntut dan divonis pidana percobaaan.
Meski banyak perempuan korban yang (terpaksa) memilih proses perdatanya (perceraian) lantaran terpisahnya proses pidana-perdata, namun tidak sedikit juga perempuan korban memilih proses perdatanya (perceraian) lantaran karena desakan aparat kepolisian yang memintanya untuk mencabut laporan KDRT yang dialaminya.
Sebagai upaya access to justice dibutuhkan suatu konsep proses pencarian keadilan yang mudah diakses (accessible) bagi perempuan korban. Peradilan yang menggabungkan proses pidana (KDRT) dan perdata (perceraian) dalam satu atap.
Dibanyak negara seperti Australia terdapat pengadilan keluarga (family court) yang sudah terbentuk sejak 1975, Filipina sejak 1997, Maroko sejak 2004 dan Venezuela sejak 2007 yang dasar pemebentukannya sangatberagam; pengadilan keluargaAustralia dan Maroko, dibentuk dengan UU Hukum Keluarga, Filipina dibentuk dengan UU khusus pengadilan keluarga dan Venezuela yang dasar pembentukannya dengan UU Hak-hak Perempuan untuk Bebas dari Kekerasan. Kewenangan pengadilan keluarga di berbagai negara tersebut antara lain mengadili kasus KDRT dan perceraian.
Di Indonesia pembentukan pengadilan keluarga dimungkinkan dengan pembuatan “sistim kamar” di pengadilan. UU Peradilan Umum dan UU Peradilan Agama menyebutkan yang pada intinya dilingkungan kedua peradilan tersebut dimungkinkan membentuk suatu pengadilan khusus dengan sistem kamar. Sistim kamar pengadilan keluarga nantinya berada di lingkungan pengadilan agama dan pengadilan umum.
Pengadilan agama kemudian nantinya diberikan perluasan kewenangan mengadili, yakni mengadili tindak pidana keluarga (seperti KDRT). Sehingga baik di Pengadilan Umum maupun di Pengadilan Agama, tindak pidana KDRT dan perceraian (perdata) bisa diadili secara berbarengan dalam satu atap. Sebagai dasar pembentukannya diperlukan UU tentang pengadilan keluarga.

Segera 
Sebagai upaya memutus impunitas pelaku KDRT, di atas telah ditawarkan berbagai upaya. Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung harus segera memasukan UU KDRT ke dalam kurikulum pendidikan institusinya dan merespon upaya-upaya kelompok masyarakat sipil agar UU PKDRT menjadi implementatif. Sementara itu pemerintah dan DPR RI harus membuka diri menerima usulan pembuatan UU tetang pengadilan keluarga. Dengan demikian impunitas pelaku KDRT akan segera terputus. Semoga!.
*) Advokat Publik; Staf Federasi LBH APIK Indonesia; Bisa dihubungi di  abdulhamimjauzie@yahoo.com


 

ACARA PEMERIKSAAN PENGGABUNGAN PERKARA SENGKETA PERKAWINAN DENGAN SENGKETA HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA



        Penggabungan perkara di Pengadilan Agama sangat mungkin terjadi, hal ini dapat berupa :
1, Sengketa perkawinan sekaligus  gugatan harta bersama. 
2. Sengketa perkawinan didalamnya terdapat gugat rekonpensi.

        Penggabungan dua perkara tersebut tentu tidak dapat diperiksa secara bersama-sama sebab hukum acara untuk  dua perkara tersebut berbeda. Pada pemeriksaan sengketa perkawinan sidang harus dinyatakan tertutup untuk umum, sedangkan untuk sengketa harta bersama, sidang harus dinyatakan terbuka untuk umum. Pada pemeriksaan sengketa perkawinan dapat mengajukan saksi keluarga, sedangkan pada sengketa harta bersama, saksi keluarga tidak diperbolehkan.

         Berdasarkan uraian diatas, saya berpendapat bahwa terhadap penggabungan perkara semacam ini maka pemeriksaan terhadap sengketa perkawinannya diselesaikan secara tuntas terlebih dahulu, baru setelah itu memeriksa gugatan harta bersama atau gugat rekonpensinya. Satu dan lain hal, gugatan harta bersama atau gugatan rekonpensi tidak akan dikabulkan apabila gugatan tentang sengketa perkawinannya tidak diterima atau ditolak.

         Ada Surat Edaran Mahkamah Agung, bahwa sebaiknya perkara sengketa perkawinan tidak digabung dengan gugatan harta bersama, hal ini sangat menguntungkan pihak-pihak, sebab pada umumnya yang dimintakan banding atau kasasi hanya gugatan harta bersama sedangkan perceraiannya tidak dipermasalahkan sehingga nasib perkawinan pihak-pihak jadi terkatung-katung. Akan tetapi untuk memisahkan penggabungan tersebut bukan oleh hakim, tetapi langsung oleh pihak-pihak sedangkan hakim hanya sebatas memberikan saran atau nasihat.

        Dari uraian diatas dapatlah dikemukakan pendapat-pendapat sebagai berikut:

  1. Apabila terjadi penggabungan perkara antara sengketa perkawinan dengan gugatan harta bersama atau gugatan rekonpensi, maka pemeriksaan terhadap perkara ini harus dilakukan dengan cara terlebih dahulu memeriksa perkara sengketa perkawinannya sampai tuntas, sesudah itu baru memeriksa gugatan harta bersama atau gugatan rekonpensinya.
  2. Pemhabuktian terhadap perkara sengketa perkawinan berbeda dengan perkara sengketa kebendaan.
  3. Saksi keluarga hanya berlaku pada sengketa perkawinan dan tidak berlaku pada sengketa kebendaan.
  4. Pada sengketa perkawinan harus diperiksa dalam sidang tertutup sedangkan pada sengketa kebendaan harus dengan sidang terbuka untuk umum.
  5. Demi efektifitas dan tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan diharapkan hakim memberi saran agar pihal-pihak menyelesaikan sengketa perkawinannya terlebih dahulu, baru kemudian mengajukan gugatan harta bersama.

Demikian, selanjutnya mohon pendapat atau saran-saran untuk melengkapi tulisan ini.



                                                Ygyakarta, 25 Rabiul akhir 1432
                                                                   30     maret        2011




                                                                     H. A H M A D

1. H. Ahmad, Hakim Tinggi PTA Yogyakartra
2 . Makalah pada diskusi IKAHI Cabang PTA yogyakarta
FUNKSI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGISI          KEKURANGAN ATAU KEKOSONGAN HUKUM ACARA
 ADALAH SAMA DENGAN UNDANG-UNDANG
Oleh : Drs. Marjohan Syam, SH., MH.[1]

People in society have needs and make demands; these sometimes do and sometimes do not invoke legal process-depending on the cultural” (M. Friedman)
(Warga masyarakat mempunyai kebutuhan dan membuat tuntutan; semua
ini kadang-kadang menimbulkan proses hukum dan kadang-kadang tidak menimbulkan proses hukum-tergantung kepada kultur hukum yang mereka anut)

Hukum merupakan perangkat kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang mengatur tingkah laku manusia agar tercapai keseimbangan, keselarasan dalam lingkungan pergaulan bermasyarakat untuk mencapai tujuan hidup yang aman, damai dan sejahtera.
Segala sesuatu aturan untuk mencapai tujuan diatas adalah dalam kerangka perangkat peraturan yang disebut hukum materiil, namun hukum materiil tersebut tidak akan ada artinya jika tidak dilengkapi dengan suatu perangkat peraturan yang mengatur cara bagaimana orang menuntut atau mempertahankan haknya serta cara bagaimana hakim menyelesaikan permasalahan itu.
Dan yang disebut terakhir ini adalah hukum acara perdata atau disebut hukum formil atau juga dinamakan hukum proses, dengan mana pihak yang berkepentingan dapat mengajukan atau mempertahankan haknya dimuka pengadilan dan hakim juga mendapat cara bagaimana dia mengahadapi para pihak yang berkepentingan itu di muka pengadilan.
Hukum acara perdata di Indonesia saat ini masih menggunakan produk hukum yang dibuat oleh pemerintah konolial yang sudah berabad-abad lamanya yaitu HIR/RBg dan BW, dan bukan tertutup kemungkinan saat menyusunnya terkandung politik hukum yang menguntungkan kepentingan pemerintahan kolonil dimaksud, jadi sudah saatnya kita mempunyai peraturan hukum acara perdata Indonesia, tetapi yang jelas saat ini sudah banyak kebutuhan hukum yang yang berhubungan dengan hukum acara perdata menghendaki secepatnya kita membuat undang-undang hukum acara perdata.
Dalam mengatasi kekurangan dan atau kekosongan hukum acara perdata di Indonesia, sementara Mahkamah Agung mengeluarkan dua macam bentuk atutan yang dipedomani oleh badan-badan peradilan dibawah Mahkamah Agung, yaitu :
a. Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA); dan
b.      Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA).
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dapat dikatakan merupakan hukum acara untuk mengisi kekurangan dan atau kekosongan, seperti PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan sebagai mengisi kekurangan, dan PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Class Action atau gugatan perwakilan kelompok, sebagai mengisi kekosongan, bahkan ada acara perkara yang telah berjalan namun belum ada PERMA-nya seperti CLS (Citizen Law Swit) atau gugatan terhadap negara yang merugikan warganya.
Sedangkan SEMA merupakan petunjuk bagi hakim peradilan dibawah Mahkamah Agung dalam menjalankan funksinya “Pembinaan & Pengawasan” (vide Pasal 32 ayat (4) UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung) petunjuk tersebut merupakan penjelasan atau penafsiran peraturan Undang-Undang agar dalam praktek pengadilan tidak terjadi disparitas dalam memberikan keadilan yang menimbulkan tidak tercapainya kepastian hukum, sebagai salah satu ide dasar hukum menurut Gustav Radbruch yang ditulis Prof. Dr. Ahmad Ali, SH., MH. Dalam bukunya “Menguak Realitas Hukum”.[2]
Mengapa PERMA merupakan hukum acara yang berfunksi sama dengan Undang-Undang? Jawabannya karena undang-undang mengamanatkan kepada Mahkamah Agung RI agar membuata aturan untuk mengisisi kekurangan dan kekosongan tersebut.
Dalam Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menyebutkan sebagai berikut :
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hsl-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini
Dan dalam penjelasannya diterangkan bahwa funksi Mahkamah Agung untuk melengkapi kekurangan dan mengisi kekosongan, sebagai berikut :
Apabila dalan jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian, Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga Negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, alat pembuktian serta penilaian ataupun pembagian beban pembuktian[3]
Jadi kuranglah tepat menurut penulis mempertentangkan Undang-Undang lebih tinggi dari PERMA, dalam hal PERMA melengkapi kekurangan yang terdapat dalam Undang-Undang atau mengisi kekosongan, ya siapapun tahu bahwa dari segi urutan dan kedudukan perundang-undangan, Undang-Undang lebih tinggi dari PERMA, akan tetapi jika PERMA itu menyempurnakan apa yang ada dalam Undang-Undang atau mengisi kekosongan hukum, maka funksinya menurut penulis sama dengan Undang-Undang, karena kekuasaan (power) itu diberikan kepada Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang, dengan begitu berlaku kaedah “apa yang ditunjuk oleh undang-undang, adalah juga undang-undang” yang kekuatannya sama dengan undang-undang (logis citatae), seperti yang dikatakan bahwa undang-undang itu keras, tapi memang ia sudah ditulis demikian (dura lex sed ita scripta).
Sebagai contoh adalah PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, seperti Pasal 7 ayat (1), bahwa majelis hakim langsung menyerahkan proses mediasi kepada Mediator, setelah memberi petunjuk kepada para pihak berperkara dan telah terpilih Mediator, padahal jelas-jelas Pasal 130 HIR/154 RBg memberi mandat kepada majelis hakim untuk mendamaikan para pihak pada sidang pertama yang dihadiri pihak-pihak. PERMA tersebut melengkapi aturan yang ada yaitu dengan memasukan proses mediasi kedalam proses litigasi, maka terjadilah perobahan yang cukup signifikan tentang usaha perdamaian bagi pihak-pihak yang berperkara adalah dua hal :
Pertama : Mengalihkan kewajiban (imperatif) mendamaikan pada sidang pertama yang dihadiri para pihak dari majelis hakim kepada mediator (Pasal 4);
Kedua : Kewajiban mendamaikan bukan imperatif oleh majelis hakim pada setiap kali persidangan (Pasal 18 ayat 3);
Dan perubahan tersebut diancam sanksi “batal demi hukum” bila tidak dilaksanakan prosedur mediasi tersebut (Pasal 2 ayat 3), dengan demikian jika yang biasanya majelis hakim secara lansung (direct) terancam sanksi batal demi hukum jika tidak melakukan usaha perdamaian bagi para pihak yang berperkara pada sidang pertama yang dihadiri para pihak, maka sekarang majelis hakim secara tidak lansung (indirect) terancam sanksi batal demi hukum karena tidak menyerahkan usaha perdamaian tersebut kepada mediator, dan mediator dengan demikian tidak melaksanakan mediasi atau melaksanakan setelah lebih dahulu didamaikan oleh majelis hakim. Jadi menurut penulis jika sebelum PERMA hanya satu unsur yang diwajibkan untuk mendamaikan yaitu majelis hakim, setelah PERMA ada dua unsur pertama yaitu majelis hakim menyerahkan usaha mendamaikan kepada mediator, dan unsur kedua mediator melakukan usaha untuk mendamaikan para pihak bersengketa melalui proses mediasi.
Dengan demikian maka PERMA ini sebagai hukum acara, maka semua yang diatur PERMA tersebut harus bagian dari putusan dan dijadikan dasar dalam pertimbangan hukumnya, dan bahkan nama mediator harus masuk pertimbangan.
Dengan penyempurnaan sistem usaha perdamaian para pihak dengan PERMA ini, Mahkamah Agung menghendaki supaya usaha perdamaian dalam proses peradilan itu sungguh-sungguh dan serius dilaksanakan, bukan sekedar formalitas memenuhi maksud Undang-Undang, akan tetapi betul-betul diusahakan dengan maksimal yang tentu out-put dan out-comenya mengurangi perkara yang menumpuk di Mahkamah Agung, disamping pengadilan menawarkan penyelesaian perkara yang win-win solution kepada para pihak berperkara.
Penulis sengaja memilih contoh PERMA No. 1 Tahun 2008, karena implementasi PERMA tersebut dilapangan terjadi perbedaan disebabkan PERMA dipertentangkan dengan undang-undang, sehingga pelaksanaan usaha pedamaian dalam perkara perdata tersebut masih dilakukan oleh majelis hakim dan bila tidak berhasil baru diserahkan kepada mediator. Menurut penulis pemahaman demikian menjadi rancu, terutama meletakkan “imperatif” usaha perdamaian itu, disatu pihak HIR/RBg meletakkan kepundak majelis hakim, dilain pihak PERMA meletakkan kepundak mediator, mana yang akan diterapkan?
Dalam hal demikian tidak seharusnya kita berpendapat tidak apa-apa jika majelis hakim dalam sidang pertama yang dihadiri para pihak boleh langsung melakukan usaha perdamaian dan jika tidak berhasil baru diserahkan kepada mediator, dengan dalih Undang-Undang lebih tinggi dari PERMA. Tindakan yang demikian menurut penulis kurang memahami maksud Mahkamah Agung dengan pengaturan PERMA No. 1 Tahun 2008 ini, justru disinilah letak perbedaan PERMA No. 2 Tahun 2003 dengan PERMA No. 1 Tahun 2008, karena Mahkamah Agung melihat PERMA No. 2 Tahun 2003 mandul dalam mencapai tujuan mediasi masuk ke litigasi itu, maka diterbitkanlah PERMA No. 1 Tahun 2008 ini.
Eksistensi PERMA saat ini betul-betul sangat strategis bukan saja untuk mengisi kekuarangan atau kekosongan hukum acara perdata, tetapi lebih dari sekedar penuhan kebutuhan acara dalam praktek, peran strategis itu ialah membentuk dan memberi warna hukum acara perdata kita kedepan, dengan kata lain bahwa hukum acara perdata kedepan adalah muncul dari praktek pengadilan yang jelas sudah teruji dilapangan.
Demikianlah pandangan penulis tentang funksi PERMA dalam mengisi kekurangan atau kekosongan hukum acara perdata, terutama disorot tentang Perosedur Mediasi di Pengadilan, saya menyadari betapa kurang dan mentahnya tulisan ini, karenanya tanggapan dan koreksi diharapkan dari pihak punya kompentesi khusus dalam hal ini untuk dapat pemahaman yang benar, sehingga tidak terjadi disparitas dalam pelaksaannya.

                                                                           Yogyakarta,  8  April  2011
                                                                           Penulis,


                                                                           Drs. Marjohan Syam, SH., MH.        
                  


[1] Hakim Tinggi PTA Yogyakarta, sejak 23 Agustus 2010
[2] Ahmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Hlm. 3
[3] Penjelasan Pasal 49 UU No. 14 Tahun 1985



ACARA PEMERIKSAAN PENGGABUNGAN PERKARA SENGKETA PERKAWINAN DENGAN SENGKETA HARTA BERSAMA
DI PENGADILAN AGAMA

 Penggabungan perkara di Pengadilan Agama sangat mungkin terjadi, hal ini dapat berupa :

  1. Sengketa perkawinan sekaligus  gugatan harta bersama.
  2. Sengketa perkawinan didalamnya terdapat gugat rekonpensi.
       
        Penggabungan dua perkara tersebut tentu tidak dapat diperiksa secara bersama-sama sebab hukum acara untuk  dua perkara tersebut berbeda. Pada pemeriksaan sengketa perkawinan sidang harus dinyatakan tertutup untuk umum, sedangkan untuk sengketa harta bersama, sidang harus dinyatakan terbuka untuk umum. Pada pemeriksaan sengketa perkawinan dapat mengajukan saksi keluarga, sedangkan pada sengketa harta bersama, saksi keluarga tidak diperbolehkan.

         Berdasarkan uraian diatas, saya berpendapat bahwa terhadap penggabungan perkara semacam ini maka pemeriksaan terhadap sengketa perkawinannya diselesaikan secara tuntas terlebih dahulu, baru setelah itu memeriksa gugatan harta bersama atau gugat rekonpensinya. Satu dan lain hal, gugatan harta bersama atau gugatan rekonpensi tidak akan dikabulkan apabila gugatan tentang sengketa perkawinannya tidak diterima atau ditolak.

         Ada Surat Edaran Mahkamah Agung, bahwa sebaiknya perkara sengketa perkawinan tidak digabung dengan gugatan harta bersama, hal ini sangat menguntungkan pihak-pihak, sebab pada umumnya yang dimintakan banding atau kasasi hanya gugatan harta bersama sedangkan perceraiannya tidak dipermasalahkan sehingga nasib perkawinan pihak-pihak jadi terkatung-katung. Akan tetapi untuk memisahkan penggabungan tersebut bukan oleh hakim, tetapi langsung oleh pihak-pihak sedangkan hakim hanya sebatas memberikan saran atau nasihat.

        Dari uraian diatas dapatlah dikemukakan pendapat-pendapat sebagai berikut:

  1. Apabila terjadi penggabungan perkara antara sengketa perkawinan dengan gugatan harta bersama atau gugatan rekonpensi, maka pemeriksaan terhadap perkara ini harus dilakukan dengan cara terlebih dahulu memeriksa perkara sengketa perkawinannya sampai tuntas, sesudah itu baru memeriksa gugatan harta bersama atau gugatan rekonpensinya.
  2. Pemhabuktian terhadap perkara sengketa perkawinan berbeda dengan perkara sengketa kebendaan.
  3. Saksi keluarga hanya berlaku pada sengketa perkawinan dan tidak berlaku pada sengketa kebendaan.
  4. Pada sengketa perkawinan harus diperiksa dalam sidang tertutup sedangkan pada sengketa kebendaan harus dengan sidang terbuka untuk umum.
  5. Demi efektifitas dan tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan diharapkan hakim memberi saran agar pihal-pihak menyelesaikan sengketa perkawinannya terlebih dahulu, baru kemudian mengajukan gugatan harta bersama.

Demikian, selanjutnya mohon pendapat atau saran-saran untuk melengkapi tulisan ini.



                                                Ygyakarta, 25 Rabiul akhir 1432
                                                                   30     maret        2011




                                                                     H. A H M A D

1. H. Ahmad, Hakim Tinggi PTA Yogyakartra
2 . Makalah pada diskusi IKAHI Cabang PTA yogyakarta



FUNKSI HAKIM PERDATA UNTUK MEWUJUDKAN
“JUSTICE FOR ALL” DAN PERADILAN YANG SEDERHANA, CEPAT & BIAYA RINGAN

Oleh : Drs. Marjohan Syam, SH., MH[1]

Law is an expression of the general economic relations within society at a give  stage of development (Karl Marx)
(Hukum adalah suatu pencerminan hubungan umum ekonomis dalam masyarakat, pada suatu tahap perkembangan tertentu)
That law depends on popular acceptance and that each group creates its own living law which alone has creative force (Eugen Ehrlich)
(Hukum tergantung pada apa yang diterima oleh umum, dan bahwa setiap kelompok menciptakan hukumnya yang hidup, dimana didalamnya masing-masing terkandung kekuatan kreatif)

Era keterbukaan saat ini yang ditandai dengan keluarnya KMA/144/VIII/2007, lembaga peradilan mau tidak mau dipantau oleh para pengamat, para pencari keadilan dan setiap orang yang mempunyai kepedulian baik para idealis ataupun sekedar mumpungi tentang penegakkan hukum di Indonesia, nah para aparatur hukum pada era ini tidak bisa bersembunyi dibalik perangkat hukum acara dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu, sehingga asumsi umum masyarakat dalam perkara perdata “menang jadi arang, kalah jadi abu” secara bertahap dibuktikan sebagai anggapan yang tidak benar.
Prinsip Keputusan Mahkamah Agung diatas sejalan dan sejiwa dengan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan”.
Berbarengan dengan keterbukaan lembaga peradilan, muncul pula apa yang disebut “justice for all” sehingga Negara berkewajiban memberikan keadilan bagi semua orang, baik orang yang tidak mampu beracara ke pengadilan karena kelemahannya dari sudut ekonomi, maupun orang yang tidak mampu karena lemah atau miskin pengetahuan dan pengalaman hukum, semuanya menjadi perhatian Negara, ternyata pada tanggal 21 April 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan, yang memberikan penekanan pada pentingnnya ‘keadilan bagi semua’ dalam mencapai tujuan-tujuan penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang lebih luas, termasuk Tujuan Pembangunan Milenium.[2]
Seiring dengan program access to justice yang bermuara kepada justice for all dan justice for poor yang diamini pula oleh Presiden Republik Indonesia itu dalam pidatonya pada pembukaan kongres IACA (International Association for Court Addministrator) untuk kawasan Asia-Fasific di istana Bagor beberapa waktu yang lalu, katanya bahwa pelayanan perkara prodeo, sidang keliling dan pos bantuan hukum akan terus ditingkatkan[3], kita merasa berkewajiban untuk meningkatkan funksi-funksi lembaga hukum yang mengarah kepada pelayanan bagi pencari keadilan seperti funksi bantuan hakim untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.  
Disamping itu kita mengenal hukum acara perdata di Indonesia menganut tri asas “peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan” yang kemudian dikukuhkan oleh Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 yang diawali oleh Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kekiman Nomor 14 Tahun 1970 yang bunyi Pasalnya “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.[4]
Peradilan perdata di Indonesia menganut asas bahwa hakim bersikap antara pasif dan aktif, disatu pihak pasif dalam arti hakim terbatas memeriksa dan mengadili apa yang diminta dalam surat gugat,  dan dilain pihak hakim aktif dalam memimpin persidangan antara lain membantu para pihak menemukan fakta konkrit dan menemukan hukum dari fakta konkrit yang telah dapat dibuktikan oleh pihak yang berperkara, itu semua sebagai implementasi tuntutan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman berbunyi  “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.  Disamping itu hakim tidak hanya sebagai corong Undang-Undang tetapi hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat[5].
Pada prinsipnya sistem RBg dan HIR hakim aktif sejak masuknya gugatan sampai memimpin sidang, lain halnya dengan sistem Rv (Reglement of de Rechts vordering) yang menggariskan sistem “daagvaarding” yang menetapkan semua tingkat proses dilakukan secara “tertulis” (schriftelijke peocedure) serta “procureur stelling” yakni para pihak wajib dibantu seorang pengacara dalam berproses (verplikte rechts bijstand). Menurut M. Yahya Harahap, prinsip ini kedudukan hakim memimpin sidang hanya sekedar mengawasi jalannya proses persidangan, agar para pihak yang berperkara bertindak sesuai dengan tata tertib beracara yang ditentukan. Menjaga dan mengawasi agar tidak menyimpang, hakim seolah-olah penonton diluar arena, tidak ikut mencampuri tindakan para pihak selama tidak ada pelanggaran tata tertib beracara[6]
Dengan demikian apa yang dicanangkan negara saat ini adalah tuntutan Pasal 56 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 sebagai berikut :
(1)     Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
(2)  Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
Bagaimana menghadapi issu nasional keterbukaan yang telah kita sebutkan diatas? Inilah permasalahan sebagai tantangan yang harus dijawab oleh hakim Indonesia diera ini. Ada dua hal yang hendak kita munculkan dalam bentuk konkrit yaitu :
Pertama : Bagaimana mengaplikasikan justice for all (keadilan untuk semua).
Kedua : Bagaimana mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Sistem HIR/RBg menentukan bahwa sejak saat orang yang membawa kepentingannya lewat pengadilan sampai kepersidangan, ketua pengadilan diberi kekuasaan untuk memberi nasehat dan pertolongan kepada penggugat atau wakilnya dalam berperkara (Pasal 143, 156 RBg/119, 132 HIR) dan didalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 4 ayar (2) berbunyi : Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Berdasarkan uraian diatas ini, dalam proses peradilan perdata hakim lebih banyak aktif ‘membantu’ yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.        Memberi nasehat dan pertolongan kepada penggugat atau kuasanya  dalam mengajukan gugatan;
Karena gugatan harus memenuhi syarat formil dan syarat materil yang tidak semua orang mengerti dengan baik. Jika syarat formil yang tidak terpenuhi maka hakim akan memutus dengan putusan negatif yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau pengadilan tidak berwenang, dengan putusan tersebut meskipun pihak penggugat dapat mengajukan kembali artinya tidak nebis in idem, namun jelas menimbulkan kerugian waktu dan uang. Lain halnya jika tidak terbukti kepentingan yang bersangkutan dimuka sidang, maka diputus positif dengan menolak gugatan penggugat, yang terakhir ini memang terkait dengan kemampuan pihak membuktikan dimuka persidangan apa yang digugat.  
2.        Memformulasikan gugatan dalam bentuk catatan bagi penggugat yang buta huruf;
Sejak dulu hukum acara perdata memberi kesempatan kepada siapa saja yang kepentingan secara hukum dilanggar, seperti orang yang buta huruf dapat mengajukan gugatan kepengadilan walau dia tidak bisa tulis baca. Dalam menghadapi ini ketua pengadilan atau orang yang ditunjuknya untuk menerima pengaduan orang itu dengan cara menjelaskan problem hukumnya untuk kemudian ditulis dan difomulasikan menurut standar gugatan dan setelah selesai semua, maka ketua atau yang ditunjuk itu menanda tanganinya setelah dibacakan dihadapannya dan diterimanya.
3.        Dalam hal menemukan hukum hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
Tugas hakim yang serius sekali adalah dalam menemukan hukumnya, disini bukan hanya Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang sifat tertulis, tetapi juga menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk satu tujuan yaitu rasa keadilan masyarakat. Kesungguhan mencapai tujuan ini adalah untuk semua orang, baik yang kaya ataupun orang miskin, baik orang pintar hukum atapun orang yang bodoh, barangkali ini yang dimaksud keadilan untuk semua tanpa membeda-bedakan orang. 
4.        Berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan dalam proses.
Maksud dari penggalan aturan tertulis ini, agar pengadilan dalam proses perkara berusaha memberikan petunjuk kepada para pihak tentang yang harus mereka perbuat dalam proses perkara tersebut.
Apa dan bagaimana hakim memberi nasehat dan pertolongan kepada penggugat dalam mengajukan gugatannya?
Memperhatikan ketentuan dalam HIR/RBg dan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, maka hakim harus aktif sejak pertama masuk gugatan dan terus kedalam proses persidangan sampai kepada putusan hakim. Hanya saja Pasal 119 HIR/143 RBg memberi batuan itu sifatnya sempit hanya kepada penggugat saja, sedangkan Pasal 156 Rbg/132 HIR sudah luas kepada para pihak yang berperkara, dan luas lagi tuntutan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kekiman yaitu mengatasi hambatan dan rintangan baik intern maupun ekstern pengadilan.
Dengan demikian bantuan kepada penggugat jangan sampai melanggar asas “audi et alteram partem” maka aplikasi Pasal 119 HIR/143 RBg bantuan kepada penggugat adalah 4 macam, yaitu :
1.        Membuat dan memformulasikan gugatan bagi yang buta huruf;
2.        Memberikan petunjuk tentang tatacara mengajukan perkara prodeo;
3.        Memberi saran penyempurnaan surat kuasa; dan
4.        Menganjurkan untuk memperbaiki surat gugat.
Bentuk-bentuk bantuan ini seyogianya dilakukan pada awal masuknya perkara, paling lambat sebelum perkara dibagi kepada majelis hakim, tetapi apabila telah dilakukan pemanggilan apalagi pada waktu sidang dimulai sudah melanggar asas audi et alteram partem, karena pihak lawan sudah terserang haknya dengan disampaikan kepadanya salinan surat gugat, bahkan sudah diperingatkan oleh juru sita dalam relas panggilan supaya mempersiapkan jawaban tertulis.
Walaupun demikian seandainya penggugat mau merubah atau menambah gugatannya dibolehkan oleh hukum dalam batas-batas tertentu dan bila telah disampai jawaban tergugat, maka perubahan dan/atau tambahan gugatan harus persetujuan tergugat.
Tujuan dari pemberian bantuan seperti tersebut diatas tidak lain agar gugatan yang diajukan tersebut menjadi N.O. (Niet Ontvankelijk verklaard) atau tidak berwenang, sehingga pihak penggugat sia-sia mengeluarkan banyak biaya perkara, tapi tidak ada hasilnya.
Bimbingan dan bantuan hakim setelah persidangan dimulai memberi penjelasan kepada para pihak tentang proses sidang yang hendak dilalui, agar tertib acara berjalan tanpa hambatan apa-apa, penjelasan itu adalah :
1.        Memberi penjelasan cara mengajukan batahan dan jawaban;
2.        Memeberi penjelasan tentang tata cara verzet dan rekonvensi;
3.        Memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah;
4.        Memformulasikan kesepakatan perdamaian;
5.        Memanggil saksi para pihak dengan resmi;
6.        Menjelaskan tentang upaya hukum.[7]
Bantuan seperti ini tidak melanggar asas karena objek bimbingan kepada kedua pihak yang berperkara dengan tetap menjaga jangan sampai menimbulkan asumsi satu pihak karena memberi bantuan kepada pihak lain.
Selain dari bentuk bantuan atau pertolongan hakim kepada para pihak untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya murah itu, hakim juga transparan memberikan argumentasi dalam putusan.
Menurut ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009, bahwa hakim dalam memutus suatu perkara wajib bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan dan apabila gagal mencapai kesepakatan, maka terbukalah dissenting opinion, dan semua pendapat harus masuk dalam putusan dan dapat diakses oleh para pihak dan oleh siapa saja.
Proses pengambilan putusan itu adalah sebagai berikut:[8]
a.        Putusan diambil berdasarkan sidang/rapat permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia (vide  Pasal 14 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman);
b.        Setiap hakim dalam sidang permusyawaratan majelis membuat pendapat tertulis disertai dengan argumentasi mengapa ia berpendapat demikian;
c.        Ketua majelis meminta hakim yang yunior untuk menyampaikan pendapatnya, kemudian yang lebih senior, dan terakhir pendapat dari ketua majelis;
d.        Jika pendapat dari masing-masing hakim sama, berarti selesailah musyawarah dan putusan disusun untuk diucapkan dalam sidang yang ditentukan untuk itu;
e.        Apabila terdapat perbedaan pendapat maka ketua majelis berusaha menyatukannya menjadi pendapat bulat;
f.         Dan seandainya tidak tercapai pendapat yang bulat/tidak satu pendapat, apalagi terjadi perbedaan yang tajam, maka terbukalah lembaga dissenting opinion;
g.        Apabila terjadi keadaan seperti angka 11 huruf e diatas, maka putusan diambil dengan suara terbanyak;
h.        Pendapat hakim yang berbeda itu wajib masuk dalam pertimbangan berikut nama hakim yang melakukan dissenting opinion tersebut;
i.         Meskipun secara jumlah suara ada hakim yang beda pendapat, namun hakim yang bersangkutan harus tunduk kepada putusan itu dan ikut menanda tangani putusan;
j.         Panitera yang ikut sidang membuat catatan sidang permusyawaratan majelis hakim baik yang berjalan mulus (point 11 huruf c) atau melalui proses dissenting opinion (point 11 huruf e dan f) yang selanjutnya akan disusun dalam bentuk ikhtisar sidang/rapat permusyawaratan;
k.        Ikhtisar rapat/sidang permusyawaratan tersebut ditanda tangani oleh ketua majelis dan panitera sidang (vide Pasal 51 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).

Bantuan Hukum seperti tersebut dalam Bab XI Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman secara konkrit adalah :
1.        Memberi bantuan kepada masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi atau disebut perkara prodeo dengan penyediaan dana untuk proses perkaranya dari negara melalui DIPA.
2.        Melakukan sidang keliling diwilayah pengadilan terkait.
3.        Membentuk Pos Bantuan Hukum di setiap pengadilan tingkat pertama.
Prihal yang tersebut pada point pertama sebenarnya telah berjalan disetiap pengadilan, namun hal tersebut masih terbatas karena beberapa sebab, antara lain tidak tersosialisasi kepada semua masyarakat, dan alasan lain karena tidak semua Lurah atau Kepala Desa dan Kecamatan bersikap kooperatif dalam masalah ini, kemungkinan merasa malu banyak warganya yang masih miskin dan bukannya tidak mungkin karena bisa dianggap tidak mampu meningkatkan pendapatan penghasilan masyakatnya.
Prihal point kedua yaitu sidang keliling atau sidang diluar tempat sidang dengan mengambil tempat atau ruang khusus atau disebut setting plaat, disebabkan luasnya secara geografis wilayah Kabupaten/Kota dimana pengadilan berdiri, sehingga masyarakat pencari keadilan yang tadinya kesulitan datang ke ibukota Kabupaten/Kota, malalui sidang keliling relatif lebih dekat dan tentunya ongkos jalan lebih murah.
Mengenai point ketiga ini adalah lembaga baru dilingkungan peradilan, dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 83  Tahun 2008 telah mengatur advokat dalam memberi bantuan hukum “Advokat wajib memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma kepada Pencari Keadilan” dan untuk implikasinya Mahkamah Agung telah mengeluarkan Sema Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, yang salah satu isinya mengatur tentang fasilitas perkara prodeo, pelayanan sidang keliling dan pos bantuan hukum di pengadilan.
Upaya untuk mewujudkan access to justice ini dalam implementasinya meliputi tiga hal. Pertama, hak untuk memperoleh manfaat dan menggunakan insitusi peradilan. Kedua, adanya jaminan ketersediaan sarana pemenuhan hak bagi masyarakat miskin untuk mencapai keadilan. Dan ketiga, adanya metode dan prosedur yang efektif untuk memperluas akses masyarakat terhadap keadilan.
Dari uraian tulisan ini tampak jelas bahwa berhasil atau gagalnya rencana pemerintah untuk mencapai akses keadilan terhadap semua ‘justice for all’ sangat tergantung kepada proses peradilan dan proses peradilan inilah terletak sepenuhnya kepada funksi hakim.
Demikianlah tulisan ini disajikan dalam rangka menjawab tantangan seperti tersebut diatas, penulis menyadari betapa kelemahan dan kekurangan tulisan ini, tegur sapa dari semua pihak akan melengkapi maksud tulisan dengan judul ini, terima kasih.
                                                                                   Yogyakarta,  18 Maret 2011
                                                                                    Penulis,
                                                                                    Drs. Marjohan Syam, SH., MH.














[1] Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta
[2] Badilag, Website www.badilag.net
[3] Ibid
[4] Pasal 4 ayat (2) UU No. 4/2004, Pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009
[5] Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 5 ayat (1)
[6] M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, hal. 74
[7] Ibid, hal. 82-86

[8] Hasil diskusi IKAHI Cabang Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta