Polhukam | Selasa, 31 Juli 2012 15:13 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan frasa "diatur
dengan peraturan perundang-undangan" dalam Pasal 25 ayat (6) UU No. 49
Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN,
sehingga harus dibaca "diatur dengan peraturan pemerintah (PP)".
"Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum sepanjang frasa diatur dengan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai diatur dengan Peraturan Pemerintah," kata Ketua Majelis Mahfud Md saat membacakan putusan pengujian UU Peradilan di Jakarta, Selasa (31/7).
Ketiga pasal yang mengatur hak-hak hakim sebagai pejabat negara itu dimohonkan seorang hakim PTUN Semarang, Teguh Satya Bhakti, yang dinilai telah mengesampingkan hak-hak pemohon sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Menurut dia, pasal-pasal itu mengandung ketidakjelasan rumusan sepanjang frasa 'diatur dengan peraturan perundang-undangan' karena tidak menyebutkan secara jelas jenis peraturan yang menerima delegasi kewenangan UU PTUN itu. Ketidakjelasan ini telah mengakibatkan hak-hak pemohon sebagai hakim tidak dapat dilaksanakan.
Karena itu, pemohon meminta MK untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap frasa 'diatur dengan peraturan perundang-undangan' dalam Pasal 25 ayat (6) itu harus ditafsirkan (diartikan) diatur dengan peraturan pemerintah.
Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum agar ketentuan mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan tanpa kejelasan jenis peraturannya.
"Padahal dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan berbagai jenis peraturan perundang-undangan yakni UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota. Hal itu melanggar prinsip kepastian hukum yang adil seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," kata Muhammad Alim, saat membacakan pertimbangan hakim.
Menurut Alim, belum jelasnya peraturan perundang-undangan yang akan dipergunakan untuk mengatur lebih lanjut mengenai hak-hak hakim itu dalam praktik menyebabkan lahirnya beraneka ragam peraturan. Misalnya, PP No. 11 Tahu 2008 tentang Peraturan Gaji Hakim. Keppres No. 89 Tahun 2001 tentang Tunjangan Hakim dan Perpres No. 19 Tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Peradilan.
"Berpedoman pada Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, maka frasa 'diatur dalam peraturan perundang-undangan' dalam Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat," katanya.
Teguh usai sidang yang didukung rekan-rekannya sesama hakim, menyambut baik atas putusan MK ini. "Kami kalangan hakim sangat berbahagia dengan adanya putusan MK ini. Sejak putusan MK ini pemerintah harus segera menetapkan peraturan pemerintah yang mengatur hak-hak hakim sebagai pelaksana kekuasan kehakiman," kata Teguh.
Menurut dia, putusan MK ini menjadi payung hukum untuk memperkuat pengesahan draf PP Kesejahteraan Hakim yang baru selesai disusun tim gabungan lintas lembaga (MA, KY, Kemenkeu, Menpan RB, dan Sesneg). "Dengan putusan MK ini, akan memperkuat draf PP hak-hak Hakim sebagai pejabat negara yang baru disepakati beberapa pimpinan lembaga negara kemarin," katanya.(Ant/BEY)
"Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum sepanjang frasa diatur dengan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai diatur dengan Peraturan Pemerintah," kata Ketua Majelis Mahfud Md saat membacakan putusan pengujian UU Peradilan di Jakarta, Selasa (31/7).
Ketiga pasal yang mengatur hak-hak hakim sebagai pejabat negara itu dimohonkan seorang hakim PTUN Semarang, Teguh Satya Bhakti, yang dinilai telah mengesampingkan hak-hak pemohon sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Menurut dia, pasal-pasal itu mengandung ketidakjelasan rumusan sepanjang frasa 'diatur dengan peraturan perundang-undangan' karena tidak menyebutkan secara jelas jenis peraturan yang menerima delegasi kewenangan UU PTUN itu. Ketidakjelasan ini telah mengakibatkan hak-hak pemohon sebagai hakim tidak dapat dilaksanakan.
Karena itu, pemohon meminta MK untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap frasa 'diatur dengan peraturan perundang-undangan' dalam Pasal 25 ayat (6) itu harus ditafsirkan (diartikan) diatur dengan peraturan pemerintah.
Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum agar ketentuan mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan tanpa kejelasan jenis peraturannya.
"Padahal dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan berbagai jenis peraturan perundang-undangan yakni UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota. Hal itu melanggar prinsip kepastian hukum yang adil seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," kata Muhammad Alim, saat membacakan pertimbangan hakim.
Menurut Alim, belum jelasnya peraturan perundang-undangan yang akan dipergunakan untuk mengatur lebih lanjut mengenai hak-hak hakim itu dalam praktik menyebabkan lahirnya beraneka ragam peraturan. Misalnya, PP No. 11 Tahu 2008 tentang Peraturan Gaji Hakim. Keppres No. 89 Tahun 2001 tentang Tunjangan Hakim dan Perpres No. 19 Tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Peradilan.
"Berpedoman pada Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, maka frasa 'diatur dalam peraturan perundang-undangan' dalam Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat," katanya.
Teguh usai sidang yang didukung rekan-rekannya sesama hakim, menyambut baik atas putusan MK ini. "Kami kalangan hakim sangat berbahagia dengan adanya putusan MK ini. Sejak putusan MK ini pemerintah harus segera menetapkan peraturan pemerintah yang mengatur hak-hak hakim sebagai pelaksana kekuasan kehakiman," kata Teguh.
Menurut dia, putusan MK ini menjadi payung hukum untuk memperkuat pengesahan draf PP Kesejahteraan Hakim yang baru selesai disusun tim gabungan lintas lembaga (MA, KY, Kemenkeu, Menpan RB, dan Sesneg). "Dengan putusan MK ini, akan memperkuat draf PP hak-hak Hakim sebagai pejabat negara yang baru disepakati beberapa pimpinan lembaga negara kemarin," katanya.(Ant/BEY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar