MA:
Kriminalisasi Hakim Langgar Konstitusi
DR, HM. HATTA ALI SH.MH, Ketua MA |
Ketua MA, M. Hatta Ali keberatan
aturan kriminalisasi hakim.
Ketentuan
ancaman pidana atau kriminalisasi terhadap hakim dalam menjatuhkan putusan
seperti tertuang dalam RUU MA dan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
sangat bertentangan dengan kontitusi negara hukum Indonesia. Hal ini dikatakan
Ketua MA, M. Hatta Ali saat menyampaikan sambutan dalam pelantikan 18 Ketua
Pengadilan tingkat banding di Ruang Kusumah Atmadja Gedung MA, Jumat (13/7).
Hatta
menegaskan kemandirian atau independensi hakim saat ini yang banyak
diperbincangkan (kalangan hakim) adalah ketentuan mengenai kriminalisasi dalam
RUU MA dan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru disahkan DPR.
“Menurut
pendapat saya, bahkan menurut pendapat internasional dan publik, independensi
hakim dijamin konstitusi UUD 1945, asas ini berlaku universal di seluruh dunia
yang harus dijaga. Makanya, kalau ada kriminalisasi terhadap hakim tidak
tepat. Kita sebenarnya malu karena independensi hakim di sini dikungkung,” kata
Hatta Ali.
Ia
mencontohkan dalam RUU MA mengatur adanya sanksi pidana bagi hakim agung yang
membuat putusan yang menimbulkan keonaran, huru-hara/keributan atau mengerahkan
massa di pengadilan, maka hakimnya bisa disidik. “Ini sangat berbahaya yang
mengancam independensi, nanti hakim akan mencari safety-nya saja, tidak
berani ambil resiko, dalam menjatuhkan putusan,” dalihnya.
Selain
itu, hakim agung dilarang keras menyimpang/melanggar undang-undang dalam
membuat putusan. “Kalau hakim menyimpang dari undang-undang, ancaman hukumannya
10 tahun dan denda miliaran. Kalau modelnya seperti ini, hakim tidak bisa
melakukan rechtvinding (mencari dan menemukan hukum, red) demi
keadilan,” keluhnya.
Karena
itu, Ketua MA berharap IKAHI (Ikatan Hakim seluruh Indonesia) dapat
memperjuangkan independensi hakim secara keseluruhan. “Nanti kita akan
bicarakan dengan semua hakim”.
Juru
Bicara MA Djoko Sarwoko menambahkan dalam RUU SPPA setidaknya ada sekitar
lima atau enam pasal yang mengancam independensi hakim. Padahal, independensi
hakim ini bersifat universal yang diterapkan di semua negara. “Dalam RUU SPPA
yang sudah disahkan itu setidaknya ada lima atau enam pasal yang mengancam independensi
hakim,” kata Djoko usai acara pelantikan ketua pengadilan tingkat banding.
Menurut
Ketua Muda Pidana Khusus MA ini setiap hakim yang memutus perkara dengan itikad
baik memiliki apa yang disebut dengan personal immunity right (hak
kekebalan individu).
“Ketika
seorang hakim memutuskan perkara dengan itikad baik, lalu diancam pidana
misalnya seperti Pasal 7 ayat (2) RUU SPPA Pengadilan Anak itu mengatakan
apabila hakim tidak melakukan diversifikasi atau penyelesaian perkara di luar
pengadilan, ini nanti diancam pidana dua tahun. Ini ancaman terhadap
independensi hakim yang merupakam kekuasaan kehakiman yang adil,” tegas Djoko.
Saat
dikonfirmasi, Wakil Ketua Komisi III DPR Nasir Djamil berdalih bahwa dalam
independensi hakim ada akuntabilitas keputusan hakim. “Dalam independensi ada
akuntabilitas keputusan hakim,” kata Nasir singkat.
Untuk
diketahui, ada sejumlah materi RUU MA yang dinilai mengancam independensi hakim
yakni adanya sanksi pidana bagi hakim yang salah memutus perkara, ada
kewenangan DPR untuk mengawasi putusan MA yang termuat dalam Pasal 94 RUU MA.
Larangan
bagi hakim agung tingkat kasasi membuat putusan yang melanggar undang-undang,
menimbulkan keonaran, kerusakan dan kerusuhan, membuat putusan yang tidak
mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan kebiasaan dan adat istiadat
yang berlaku di masyarakat, dan larangan mengubah secara sepihak SKB Ketua MA
dan Ketua Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal
97 RUU MA).
Sementara
dalam RUU SPPA ada beberapa sanksi pidana untuk penegak hukum dan pejabat
pengadilan dalam RUU ini. Pertama, sanksi pidana maksimal dua tahun atau denda
maksimal Rp200 juta bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tak
melaksanakan kategori tindak pidana yang bisa didiversi (bagi ancaman pidana di
bawah 7 tahun) dan tidak bisa didiversi (Pasal 95).
Kedua,
sanksi pidana kepada penyidik, penuntut umum dan hakim paling lama dua tahun
bagi yang sengaja melakukan penahanan kepada anak yang lewat dari batas waktu
sebagaimana diatur dalam RUU ini. Hal ini bertujuan agar penegak hukum
profesional dalam menjalankan tugasnya. Termasuk, kewajiban tidak
mempublikasikan identitas anak yang bermasalah secara hukum. Jika dilanggar,
sanksi pidana siap menunggu si ‘pembocor’.(sumber : hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar