Selamat Datang di blog IKAHI DIY

Selamat Datang di blog Ikatan Hakim Indonesia Derah Istimewa Yogyakarta (IKAHI DIY)
Blog ini merupakan forum silaturahmi para anggota IKAHI DIY yang menghadirkan berbagai kegiatan dan dokumentasi kegiatan anggota IKAHI DIY beserta berbagai analisa dan artikel hukum serta hasil tulisan beberapa anggota IKAHI DIY. Seluruh artikel dan penelitian hukum berikut diperbolehkan untuk dikutip maupun didistribusikan kepada publik guna tujuan pendidikan, penelitian ilmiah, kritisisasi dan review penulisan dengan catatan tetap mencantumkan nama penulis atau peneliti yang bersangkutan. Blog ini dibuat agar seluruh anggota baik pengurus maupun non pengurus bisa memantau segala kegiatan atau informasi dari IKAHI DIY secara online. Semoga Bermanfaat.

Senin, 16 Juli 2012

MA: Kriminalisasi Hakim Langgar Konstitusi

DR, HM. HATTA ALI SH.MH, Ketua MA

 

Ketua MA, M. Hatta Ali keberatan aturan kriminalisasi hakim.

Ketentuan ancaman pidana atau kriminalisasi terhadap hakim dalam menjatuhkan putusan seperti tertuang dalam RUU MA dan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sangat bertentangan dengan kontitusi negara hukum Indonesia. Hal ini dikatakan Ketua MA, M. Hatta Ali saat menyampaikan sambutan dalam pelantikan 18 Ketua Pengadilan tingkat banding di Ruang Kusumah Atmadja Gedung MA, Jumat (13/7).
Hatta menegaskan kemandirian atau independensi hakim saat ini yang banyak diperbincangkan (kalangan hakim) adalah ketentuan mengenai kriminalisasi dalam RUU MA dan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru disahkan DPR.
“Menurut pendapat saya, bahkan menurut pendapat internasional dan publik, independensi hakim dijamin konstitusi UUD 1945, asas ini berlaku universal di seluruh dunia yang harus dijaga.  Makanya, kalau ada kriminalisasi terhadap hakim tidak tepat. Kita sebenarnya malu karena independensi hakim di sini dikungkung,” kata Hatta Ali.
Ia mencontohkan dalam RUU MA mengatur adanya sanksi pidana bagi hakim agung yang membuat putusan yang menimbulkan keonaran, huru-hara/keributan atau mengerahkan massa di pengadilan, maka hakimnya bisa disidik. “Ini sangat berbahaya yang mengancam independensi, nanti hakim akan mencari safety-nya saja, tidak berani ambil resiko, dalam menjatuhkan putusan,” dalihnya.
Selain itu, hakim agung dilarang keras menyimpang/melanggar undang-undang dalam membuat putusan. “Kalau hakim menyimpang dari undang-undang, ancaman hukumannya 10 tahun dan denda miliaran. Kalau modelnya seperti ini, hakim tidak bisa melakukan rechtvinding (mencari dan menemukan hukum, red) demi keadilan,” keluhnya.
Karena itu, Ketua MA berharap IKAHI (Ikatan Hakim seluruh Indonesia) dapat memperjuangkan independensi hakim secara keseluruhan. “Nanti kita akan bicarakan dengan semua hakim”.
Juru Bicara MA Djoko Sarwoko menambahkan dalam RUU SPPA  setidaknya ada sekitar lima atau enam pasal yang mengancam independensi hakim. Padahal, independensi hakim ini bersifat universal yang diterapkan di semua negara. “Dalam RUU SPPA yang sudah disahkan itu setidaknya ada lima atau enam pasal yang mengancam independensi hakim,” kata Djoko usai acara pelantikan ketua pengadilan tingkat banding.
Menurut Ketua Muda Pidana Khusus MA ini setiap hakim yang memutus perkara dengan itikad baik memiliki apa yang disebut dengan personal immunity right (hak kekebalan individu).
“Ketika seorang hakim memutuskan perkara dengan itikad baik, lalu diancam pidana misalnya seperti Pasal 7 ayat (2) RUU SPPA Pengadilan Anak itu mengatakan apabila hakim tidak melakukan diversifikasi atau penyelesaian perkara di luar pengadilan, ini nanti diancam pidana dua tahun. Ini ancaman terhadap independensi hakim yang merupakam kekuasaan kehakiman yang adil,” tegas Djoko.
Saat dikonfirmasi, Wakil Ketua Komisi III DPR Nasir Djamil berdalih bahwa dalam independensi hakim ada akuntabilitas keputusan hakim. “Dalam independensi ada akuntabilitas keputusan hakim,” kata Nasir singkat.
Untuk diketahui, ada sejumlah materi RUU MA yang dinilai mengancam independensi hakim yakni adanya sanksi pidana bagi hakim yang salah memutus perkara, ada kewenangan DPR untuk mengawasi putusan MA yang termuat dalam Pasal 94 RUU MA.
Larangan bagi hakim agung tingkat kasasi membuat putusan yang melanggar undang-undang, menimbulkan keonaran, kerusakan dan kerusuhan, membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, dan larangan mengubah secara sepihak SKB Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 97 RUU MA).
Sementara dalam RUU SPPA ada beberapa sanksi pidana untuk penegak hukum dan pejabat pengadilan dalam RUU ini. Pertama, sanksi pidana maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp200 juta bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tak melaksanakan kategori tindak pidana yang bisa didiversi (bagi ancaman pidana di bawah 7 tahun) dan tidak bisa didiversi (Pasal 95).
Kedua, sanksi pidana kepada penyidik, penuntut umum dan hakim paling lama dua tahun bagi yang sengaja melakukan penahanan kepada anak yang lewat dari batas waktu sebagaimana diatur dalam RUU ini. Hal ini bertujuan agar penegak hukum profesional dalam menjalankan tugasnya.  Termasuk, kewajiban tidak mempublikasikan identitas anak yang bermasalah secara hukum. Jika dilanggar, sanksi pidana siap menunggu si ‘pembocor’.(sumber : hukumonline.com)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar