Selamat Datang di blog IKAHI DIY

Selamat Datang di blog Ikatan Hakim Indonesia Derah Istimewa Yogyakarta (IKAHI DIY)
Blog ini merupakan forum silaturahmi para anggota IKAHI DIY yang menghadirkan berbagai kegiatan dan dokumentasi kegiatan anggota IKAHI DIY beserta berbagai analisa dan artikel hukum serta hasil tulisan beberapa anggota IKAHI DIY. Seluruh artikel dan penelitian hukum berikut diperbolehkan untuk dikutip maupun didistribusikan kepada publik guna tujuan pendidikan, penelitian ilmiah, kritisisasi dan review penulisan dengan catatan tetap mencantumkan nama penulis atau peneliti yang bersangkutan. Blog ini dibuat agar seluruh anggota baik pengurus maupun non pengurus bisa memantau segala kegiatan atau informasi dari IKAHI DIY secara online. Semoga Bermanfaat.

Rabu, 20 Juli 2011

PROMOVENDUS ANDI SYAMSU ALAMPROMOVENDUS ANDI SYAMSU ALAMPROMOVENDUS ANDI SYAMSU ALAM

Oleh ;  Ruslan H.R.*)

Universitas Gajah Mada Jogyakarta di ruang auditorium MM, pada hari Selasa tanggal 12 Juli 2011 M., bertepatan dengan tanggal 10 Syakban 1432 H.,  mengadakan ujian terbuka untuk program doktor dalam ilmu filsafat, dengan  promovendus atas nama Andi Syamsu Alam. Judul disertasi ”Usia Perkawinan Dalam Persepektif Filsafat Hukum Dan Kontribusinya Bagi Pengembangan Hukum Perkawinan Indonesia”. Promotor dan  Ko – Promotor promovendus,    masing-masing      adalah    Prof. Dr. H.R.Soejadi, S.H. dan Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin. Sedangkan tim penguji antara lain ; Prof. Dr. Abdul Gafur, Dr. Arqom Kuswanjono, Dr.H. Haripin A Tumpa,S.H.,M.H., Prof. Dr. Abbas Hamami Mintareja, Prof. Dr. Armaidy Armawy,M.Si dan Dr. Hardono Hadi. Promovendus mempertahankan disertasi di depan rapat senat terbuka UGM dalam waktu kurang lebih dua jam dan dinyatakan lulus  dengan predikat ”Cumlaude”.
Penulis ikut berbahagia dan memberikan apresiasi serta mengucapkan selamat dan sukses kepada promovendus atas kegigihannya dalam mempertahankan disertasinya. Seperti diketahui promovendus adalah Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama, yang kali ini berhak menyandang gelar akademik doktor dalam ilmu filsafat.
Promovendus, tentu bersyukur kepada Allah SWT dan berterima kasih kepada segenap keluarga, khususnya  kepada istri dan anak-anaknya, yang selama ini ikut memberikan semangat dan dukungan, baik moril maupun materiil, sehingga promovendus dapat menyelesaikan  program studinya di jenjang pendidikan S3  Universitas Gajah Mada. Promovendus tentu tidak lupa pula memberikan ucapan terima kasih kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Bapak Dr.H.Haripin A. Tumpa, S.H.,M.H., yang berkenan memberikan izin kepada promovendus untuk melanjutkan program studi pada S3, bahkan ikut menjadi tim penguji dalam ujian terbuka tersebut. Tanpa dukungan dari berbagai pihak, khususnya keluarga, kesuksesan promovendus, tidak mungkin akan dapat tercapai sesuai yang diharapkan dan  dicita-citakan.
             Penulis dan kawan-kawan lainnya yang ikut hadir di UGM Jogyakarta  agak terkejut, karena sempat mendengar bahwa promovendus sedikit kesehatannya terganggu, menjelang dimulainya pelaksanaan ujian terbuka, mungkin hal ini terjadi karena  promovendus agak tegang mempersiapkan diri, bagaimana strategi dalam menghadapi tim penguji yang rata-rata adalah guru besar pada Universitas Gajah Mada. Akan tetapi bersyukurlah, ternyata kendala kesehatan promovendus kembali pulih, sebelum ujian terbuka dilaksanakan, walaupun  beliau hanya memakan setengah tablet dari dokter. Tentu saja semua itu adalah anugerah dari Allah SWT. Dan ketegangan seperti itu adalah sesuatu yang  lumrah terjadi pada saat menjelang mahasiswa akan memasuki arena ujian, baik di jenjang pendidikan S1, S2 ataupun S3.
    Ada satu catatan yang menarik terhadap diri promovendus, disamping beliau  sebagai salah seorang pimpinan di Mahkamah Agung yang penuh semangat, beliau memiliki pula sikap dan pribadi yang sangat familier terhadap bawahannya. Tidak jarang beliau selalu menghimbau di mana saja dan hampir setiap waktu dan kesempatan dalam pengarahannya, senantiasa meminta kepada segenap warga Peradilan Agama untuk mau meningkatkan kualitas SDM melalui program pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beliau sering menghimbau kepada jajarannya, bahwa tidak ada alasan aparat Pengadilan Agama untuk tidak menambah wawasan keilmuannya. Sebab beliau yakin betul, bahwa dengan penambahan kualitas keilmuan, akan dapat meningkatkan kualitas SDM dan dengan kualitas SDM yang baik akan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik dan lebih berkualitas. Oleh karena itu sekali lagi, ”Selamat dan Sukses kepada Bapak Dr.H.Andi Syamsu Alam,S.H,M.H., beserta keluarga. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah taufikNya kepada promovendus dalam mengemban tugas dan pengabdiannya  kepada agama, bangsa dan negara dan kita berharap beliau tidak akan surut semangatnya untuk selalu mengajak warga Peradilan Agama di seluruh Indonesia guna meningkatkan kemampuan SDMnya dalam bidang ilmu dan teknologi.
 Sekedar sebagai bahan pengetahuan di bidang ilmu hukum, tanpa bermaksud menilai pelaksanaan ujian terbuka tersebut, menurut pengamatan penulis, ada tiga hal yang menarik dan perlu diberikan catatan-catatan kecil. Ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut;
  1. Para guru besar, baik  penguji maupun promotor dan ko-promotor kesemuanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang bernuansa filsafat, dan  berkisar pada metodologi hukum, logika dan argumentasi hukum serta kaidah-kaidah  ilmu tafsir
  2.  Ketua Sidang Promosi mengajukan tanggapan dan menyoroti pernyataan promovendus, yang menayatakan bahwa hukum harus ditegakkan dan demi kepentingan rakyat.
  3. Promovendus dalam setiap memberikan jawaban atas pertanyaan para guru besar,  para undangan selalu tertawa ceria, karena promovendus memberikan jawaban konkret disertai dengan contoh-contoh yang menakjubkan sebagai fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan pendekatannya selalu melihat pada aspek sosiologis. Hal ini tepat dan dimaklumi, karena promovendus melakukan penelitian sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 1998.
Sebelum tulisan ini dipaparkan lebih jauh dengan segala keterbatasan dan kelemahannya, penulis minta dan mohon maaf kepada para pembaca dan tulisan ini akan  berfokus pada masalah ilmu filsafat,  dengan maksud dan tujuan sebagai upaya pembelajaran penulis dalam rangka menambah wawasan keilmuan di bidang filsafat hukum.
Dalam ujian terbuka tersebut, ada delapan orang guru besar yang tampil mengajukan pertanyaan ilmiah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, diajukan oleh ;
  1. Prof. Dr. R. Soejadi, S.H.,  antara lain menggaris bawahi penelitian yang dilakukan oleh promovendus selama ini, bahwa ”Promovendus melakukan kajian tentang usia perkawinan dan menghubungkan dengan teori Roscoe Pound.
Pertanyaannya ; Apa hubungan antara teori Roscee Pound dengan kajian disertasi promovendus ? .
Tanggapan berikutnya, bahwa ”Anda digelisahkan oleh Pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 dan sepertinya Anda merujuk pada ketentuan Pasal 26 KUHPerdata.
Pertanyaannya ; Apakah temuan ini adalah pendapat promevendus sendiri atau dipengaruhi oleh ketentuan KUHPerdata tersebut ?.
Promovendus memberikan jawaban secara teori, dengan mengemukakan pandangan Roscoe Pound secara ringkas dan tepat disertai dengan pernyataan dan penegasan, bahwa bagaimana dampak yang terjadi akibat adanya perkawinan dini atau di bawah umur selama ini. Promovendus  memaparkan hal-hal yang sifatnya konkrit dan  apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Mengenai usia 21 tahun  yang promovendus sebutkan tersebut,  kelihatannya tetap berbeda dengan batas usia dalam ketentuan Pasal 26 KUHPerdata, karena usia laki-laki di dalam KUHPerdata 18 tahun dan perempuan 15 tahun.
Penulis berpandangan mungkin ada juga benarnya bahwa teori Roscoe Pound itu, lebih menekankan pentingnya pada penataan kepentingan-kepentingan hukum yang ada dalam masyarakat. Itulah sebabnya Roscoe Pound melahirkan teori tentang law as a tool of social enginerering. Artinya bagaimana menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat dan dilakukan secara lebih proporsional.
Promovendus menilai bahwa usia perkawinan sebagaaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, kurang proporsional, bila laki-laki berusia 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun, karena di dalamnya belum terdapat kematangan. Sehingga wajarlah bila Roscoe Pound menyatakan, bahwa; “Penataan itu manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur masyarakat sedemikian rupa, hingga secara maksimun mencapai kepuasan akan kebutuhan dengan seminimun mungkin menghindari benturan dan pemborosan[1].
Roscoe Pound dalam teorinya mengemukakan dalam hukum, ada tiga kategori kelompok kepentingan, yaitu ; kepentingan umum, kepentingan sosial dan kepentingan pribadi[2]. Hubungan antara teori Roscoe Pound dengan materi penelitian promovendus sangat berkaitan dengan ketiga kepentingan tersebut di atas. Apabila penulis menghubungkan dengan kepentingan sosial dalam makna keamanan institusi sosial, maka di dalamnya terdapat perlindungan hubungan rumah tangga dan keseimbangan antara kesucian perkawinan dan hak untuk bercerai
Promovendus berpendapat bahwa dengan dibangunnya tatanan baru dalam peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan, akan tercipta hasil yang efektif dan efesien yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
2. Prof. Dr. M. Mukhtasyar Syamsuddin, mengajukan tanggapan, bahwa ; “Promovendus menggunakan pendekatan filosofis dalam penelitian ini.
Pertanyaannya adalah ; Jelaskan salah satu bentuk peneltian filosofis, sehingga berbeda dengan penelitian lainnya yang telah ada sebelumnya ? dan apa landasan filosofis perkawinan itu ?
Promovendus memberikan jawaban, bahwa perkawinan itu secara formal, erat kaitannya dengan ontologi, karena di sini ada ikatan batin dan secara materiil, erat kaitannya dengan epistimologi, karena di sini terdapat ilmu tentang perkawinan.
            Penulis berpendapat jawaban promovendus sangat cantik, namun rasanya lebih elok  lagi, bila promovendus mengemukakan bahwa secara ontologi  perkawinan itu, asal mulanya dari tidak ada menjadi ada dan Zat yang mengadakan adalah Allah SWT.  Dan apabila keberadaan perkawinan itu dikaji lebih dalam lagi, maka bila dipandang dari sudut sejarahnya,  sesungguhnya awal perkawinan manusia itu,  dimulai dari Nabi Adam a.s dan Hawa, itulah sebabnya ada ahli fikih yang berpendapat bahwa hukum tertua di dunia ini adalah hukum perkawinan, disusul dengan hukum pidana yang dimulai dengan kasus pembunuhan antara Kabil dan Habil.
Perkawinan adalah masalah batin dan mengandung nilai ibadah (religius) dan juga sudah merupakan sunnatullah terhadap hambanya. Itulah sebabnya Allah SWT memerintahkan untuk menikahkan orang-orang yang tidak memiliki pasangan, bahkan  dijamin oleh Allah SWT  akan diberikan taufik dan rezekiNya kepadanya.
Secara epistimologi, perkawinan itu sendiri memang mengandung nilai keilmuan (ilmu fikih), yang di dalamnya harus diketahui  bahwa dalam sebuah  perkawinan diperlukan adanya hakikat beberapa ilmu, diantaranya  ilmu tentang  pergaulan  makruf (hubungan baik) suami  istri,  ilmu tentang ijab kabul, ilmu tentang mahar, ilmu tentang wali nikah,  dan ilmu tentang saksi-saksi nikah. Kesemuanya mengandung nilai keilmuan yang sangat dalam dan luas pembahasannya.
Secara aksiologi, bahwa perkawinan itu memerlukan akad antara seorang calon suami dan seorang  wali nikah dari pihak calon istri. Tanpa adanya akad ijab kabul itu, maka perkawinan itu sendiri menjadi tidak sah. Begitu pentingnya makna dan nilai  suatu akad, di dalam akad itu terjadi ijab kabul, artinya penyerahan tanggung jawab moral dan materiil, dunia dan akhirat dari sang orang tua calon istri kepada calon suami. Itulah sebabnya tidak jarang terjadi, pihak calon suami mengucapkan kalimat kabul itu kadang-kadang tersendat-sendat, bahkan calon suami kadang-kadang sampai keringatan dalam mengucapkan kalimat kabul itu, sehingga sering kali wali nikah atau pihak penghulu harus mengulangi dua atau tiga kali kalimat ijab kabul itu, baru dianggap sah oleh segenap keluarga yang hadir dalam acara akad nikah tersebut. Kalimat ijab kabul dalam perkawinan itu sangat dalam maknanya dan filosofinya.
3. Prof. Dr. Abdul Gafur, mengajukan tanggapan, bahwa ; ”Data yang Anda kemukakan ini sudah cukup lama yaitu sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 1998. Sedangkan saat ini sudah tahun 2011.
Pertanyaannya adalah ; Apakah data ini masih relevan untuk dikaji sesuai dengan kepentingan naskah akademis?
Promovendus memberikan jawaban, bahwa secara jujur ia tidak memiliki waktu lagi untuk melakukan penelitian, mengingat tugas-tugas yang begitu berat di Mahkamah Agung. Tetapi promovendus yakin dengan bertambahnya waktu dari tahun 1996-1998 sampai tahun 2011 ini, data tersebut pasti akan lebih bertambah lagi.
Penulis berpendapat, bahwa data memang diperlukan dalam sebuah kajian penelitian untuk sampai pada kesimpulan bahwa penelitian ini adalah ilmiah dan akurat. Akan tetapi harus dipahami bahwa kajian promovendus di sini tidak bersifat kuantitatif, tetapi lebih bersifat kualitatif. Atau dengan kata lain bukan angka-angka dalam tabulasi yang diperlukan, tetapi nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pelaksanaan perkawinan itu. Sehingga data yang diperoleh dari tahun 1996 s.d 1998, tidak terlalu berpengaruh dan mengurangi bobot penelitian yang dilakukan oleh promovendus.
Pertanyaan selanjutnya, bahwa dalam social engenering itu, hakim itu harus melindungi rakyat. Oleh karena itu apakah promovendus yakin nilai-nilai dasar hukum akan melindungi dalam tatanan masyarakat di pedesaan ?
Jawaban promovendus, bahwa dengan aturan baru tentang usia perkawinan itu, promovendus yakin bahwa masyarakat akan terlindungi oleh sebuah undang-undang  baru, khususnya masyarakat yang ada di pedesaan.
            Penulis berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman yang menjadi  atribut Pengadilan Agama  dalam proses penegakan hukum dan keadilan, terutama pada saatnya nanti kehadiran undang-undang baru di bidang perkawinan, harus dapat menempatkan moral  Islam sebagai dasar inspirasi pemikiran filosofis bagi hakim, sehingga kebebasan hakim harus dipahami sebagai sebuah kerangka berpikir filosofis kritis terhadap tugas mereka dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, di mana mereka harus tetap dalam kawalan dan bimbingan nilai-nilai moral agama Islam. Nilai-nilai moral  Islam harus menjadi koridor bagi hakim Pengadilan Agama dalam mengimplementasikan kebebasannya dalam menjalankan tugas dan fungsi kekuasaan kehakiman, di manapun ia bertugas, apakah di kota-kota besar atau di daerah-daerah terpencilpun  di Indonesia.
            4. Prof. Dr. Arqom Kuswanjono, mengajukan pertanyaan ; ” Mengapa promovendus menggunakan pendekatan filsafat ? Adakah  ada sesuatu filosofi yang Anda temukan dalam perkawinan itu ?
            Jawaban promovendus, bahwa semua ilmu itu bersumber dari filsafat, termasuk di dalamnya ilmu tentang perkawinan .
Penulis berpendapat, jawaban promovendus tepat dan benar, namun dapat ditambahkan bahwa studi kajian filsafat itu sebenarnya adalah kearifan. Artinya; bagaimana usaha manusia itu,  menemukan prinsip-prinsip kearifan pada dirinya, sehingga filsafat itu dapat ditemukan oleh siapa saja.
Mengapa kearifan itu diperlukan ? Jawabannya,  karena di sinilah inti dari kebenaran, artinya dengan kearifan seseorang, di sinilah ia akan berbuat yang benar. Itulah sebabnya kajian filsafat itu adalah hakikat kebenaran.
Lalu apa tujuan yang hendak dicapai dari kearifan itu ? Tujuan yang akan dicapai dari kearifan itu ada tiga hal, yaitu ;
a.  Diharapkan seseorang dapat berpikir dan berbuat secara benar.
b. Diharapkan orang dapat berpikir secara wajar menurut akal sehat.
c. Diharapkan orang dapat berpikir secara rasional.
Oleh karena itu seseorang yang belajar dan memahami filsafat, maka orang itu sudah pasti  harus berpikir rasional. Dan mengapa kemudian manusia itu harus berpikir secara rasional ? Harapannya tentu tidak lain agar manusia dapat berbuat benar, wajar dan adil. Lalu apa ukurannya benar dan tidak benar ?  dan apa ukurannya adil dan tidak adil ? serta apa ukurannya tepat dan tidak tepat ?
Jawabannya kembali kepada norma, yang terdiri dari ; norma hukum, norma  agama dan norma susila.
Oleh karena itu kebenaran filsafat itu sifatnya relatif ?,  dan  karena itupula ; benar, tepat dan adil, bisa dipahami secara berbeda-beda. Sedangkan  kebenaran yang hakikat dan kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT.
Di sinilah perlunya  hakim berfilsafat, lebih khusus lagi hakim Pengadilan Agama terutama mereka yang bergelar hakim tinggi atau hakim agung di dalam memahami berbagai kaidah hukum, karena isi kaidah-kaidah yang diatur itu, tidak selalu menujukkan secara tepat apa yang harus dilakukan, seperti halnya pada Pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974. Itulah sebabnya promovendus melalui penelitiannya harus dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam hal perkawinan, minimal substansi tentang usia perkawinan.
Pertanyaan selanjutnya, apa hubungan penelitian Anda dengan fungsi hukum progresif ? Jawaban promovendus lebih melihat pada pendekatan aspek sosiologis, sehingga promovendus menegaskan bahwa usia perkawinan itu, tidak boleh menabrak nilai kemanfaatan dan nilai keadilan dalam masyarakat.
Penulis berpendapat jawaban promovendus sudah benar, namun sebaiknya ditambahkan pula apa yang dikemukakan oleh  Prof. Satjipto Rahardjo bahwa hukum progresif itu merupakan pemikiran hukum untuk kembali kepada filosofi dasarnya bahwa hukum untuk manusia[3]. Sehingga hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Itulah sebabnya hukum progresif menganut ideologi, bahwa hukum yang pro keadilan dan hukum yang pro rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kemampuan dan ketulusan dalam penataan hukum yang ada dan diberlakukan secara positif di Indonesia. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa. Kepentingan rakyat yang di dalamnya tercakup kesejahteraan dan kebahagiaannya), harus menjadi titk orientasi dan tujuan akhir dari penyelenggaraan/penegakan hukum. Di sini pula diperlukan pengetahuan filsafat bagi para penegak hukum, khususnya di kalangan hakim, terutama pada hakim banding dan hakim agung.
5. Dr. H. Haripin A Tumpa, mengajukan dua pertanyaan, yaitu ;
a. Di mana letak benang merahnya dari sisi hermeneutik sebagai penemuan hukum dalam usia 21 tahun itu ?
b. Apakah Anda bisa mengemukakan perbedaan antara penemuan hukum dan menciptakan hukum ? Sebab saya belum tahu kalau dikaitkan dengan penelitian Anda ?
Promovendus memberikan  jawaban secara diplomasi, bahwa kalau Bapak tidak tahu, maka  promovendus juga tidak tahu. Lalu dilanjutkan oleh penguji ;  kalau begitu sama-sama kita tidak tahu.
Namun promovendus telah memberikan jawaban bahwa dalam penemuan hukum itu sebenarnya di dalam Islam dikenal adanya istilah ijetihad dan orang yang menemukan ijetihad itu disebut mujetahid.
Terkait dengan pertanyaan pertama, penulis ingin mengemukakan keterkaitan dengan makna hermeunetik. Seperti diketahui, filsafat adalah sebuah hermeneutik yang membaca makna yang tersembunyi di dalam sebuah teks dan mengandung arti yang kelihatannya sudah jelas (Recoeur, 1974: 22).
Kalau dihubungkan dengan pengaruh ajaran filsafat positivisme, maka di sana ditemui paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran, hendaklah memberlakukan realitas sebagai suatu yang eksis sebagai salah satu objektiva, yang harus dilepaskan dari kesembarangan prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.  Dan menurut aliran filsafat positivisme, ada empat pilar utama yang dapat dijadikan dasar , yaitu ;
1        Hanya menganggap benar yang benar-benar tampil dalam pengalaman
2        Hanya yang pasti secara nyata yang diakui sebagai kebenaran
3        Hanya melalui ilmulah pengalaman nyata itu dapat dibuktikan
4        Semua kebenaran hanya didapat melalui ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan tentang agama[4]
Kalau dihubungkan dengan usia perkawinan, dengan berdasar pada pendekatan aliran tersebut di atas, maka usia seseorang yang belum sampai pada umur 21 tahun,    belum dapat memimpin dan membina rumah tangganya dengan baik, karena di dalam kehidupan rumah tangga itu terdapat beberapa aspek yang harus dibangun, antara lain aspek ekonomi, aspek kemampuan memecahkan berbagai permasalahan rumah tangga dan aspek pergaulan dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya dan lain-lain.
Di dalam filosofi masyarakat bugis makassar, dikenal dengan istilah ”Janganlah  Anda menikah kalau belum mempu mengitari dapur tujuh kali”. Siapkanlah diri Anda dengan tiga ”JU”, yaitu aju (sandang), kaju (pangan) dan aju-aju (nafkah batin). Kandungan hermeneutik dari ungkapan tersebut sangat dalam maknanya dalam kehidupan sosial masyarakat  dan ternyata masih relevan hingga saat ini.
Mengenai penemuan hukum dan menciptakan hukum sangat berbeda dalam makna hukum positif di Indonesia. Akan tetapi di dalam Islam, baik penemuan hukum maupun menciptakan hukum, keduanya berada dalam ranah ijetihad. Sehingga setiap orang yang menemukan hukum dan menciptakan hukum tetap ia disebut mujetahid. Hanya saja mujetahid itu sendiri bermacam-macam. Untuk hakim-hakim di Indonesia, tidak dapat digolongkan sebagai mujetahid mutlak, tetapi ia hanya dapat disebut sebagai mujetahid Juz’i atau mujetahid Far’i ataukah mujetahid Ittiba'i, karena hakim-hakim Pengadilan Agama di Indonesia hanya menangani perkara-perkara tertentu. Seorang hakim baru dapat disebut mujetahid mutlak, bila ia telah  mampu menghafal dan menguasai makna dan tafsir dari seluruh kandungan isi Al-Quran, termasuk asbabunnuzulnya.
Khusus di lingkungan Peradilan Agama, masalah penemuan hukum masih jarang dilakukan oleh hakim, karena sebagian besar peraturan hukum sudah jelas dan sudah  dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kalaupun ada yang mencoba menemukan hukum, paling tidak ia harus menggunakan metode penafsiran analogis atau menggunakan pendekatan qiyas. Di  dalam hukum Islam, penemuan hukum disebut Intiqaai.  Katakanlah mengenai harta bersama dalam perkawinan, baik  dalam Pasal 37 UU No.1 Tahun 1974 maupun dalam Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam, tidak ada satu ketentuan yang mengatur bahwa bila terjadi perceraian hidup, maka  pembagian harta bersama dilakukan dan diterapkan bahwa separuh untuk suami dan separuh untuk istri. Namun hakim, sering menerapkan hukum seperti itu. Hal ini bisa terjadi karena hakim menemukan hukum dan menggunakan penafsiran analogis sebagaimana ketentuan bila terjadi perceraian mati atau ketentuan hukum adat yang diberlakukan pada masa lalu ataukah menggunakan penafsiran historis melalui penjelasan Pasal 37 UU No.1 Tahun 1974.
Apabila hakim ingin menciptakan hukum, yang di dalam hukum Islam dikenal dengan istilah Intisaa’i, terhadap kasus harta bersama, sangat mungkin pula bisa dilakukan, tetapi tentu saja harus secara kasuistis dan dengan cara menggunakan pendekatan hermeneutik, di mana hakim menerapkan hukum, lebih awal  membangun sebuah konstruksi hukum yang memberikan hak kepada istri dua pertiga bagian dan kepada suami hanya sepertiga bagian. Hal ini dilakukan oleh hakim karena sesuai fakta di persidangan, istri lebih memiliki peran yang dominan dalam perolehan harta bersama, misalnya ; modal usaha harta bersama dipinjam pada awalnya dari orang tua sang istri, pada waktu dibuat atau diproduksi barang-barang yang akan dijual itu, istri lebih berperan aktif dan pada waktu dilakukuan penjualan barang-barang tersebut, istri ikut membantu suami menjual di pasar. Tentu saja sangat dibutuhkan reasoning pertimbangan hukum yang matang dan dengan menggunakan logika hukum yang rasional dan semata-mata karena pendekatan keadilan.
Demikian pula dalam  penerapan hukum tentang  harta warisan, di mana harta waris dibagi  kepada segenap ahli waris, tidak berdasarkan ketentuan nash yang terdapat dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 11, bahwa anak laki-laki mendapatkan dua bagian sedangkan anak perempuan mendapatkan satu bagian. Hakim secara kasuistis dapat melakukan pembagian harta waris dengan membagi rata, sama pembagiannya antara anak laki-laki dan anak perempuan, yaitu satu berbanding satu. Di sini hakim menggunakan penafsiran a contrario. Tentu saja diperlukan reasoning pertimbangan hukum dan pendekatan hermeneutik yang sangat dalam dan diperlukan kehati-hatian dan semata-mata demi kepentingan keadilan, bukan karena pengaruh lain yang dapat merusak moral dan integritas hakim. Jangan sampai raasoning pertimbangan hukumnya tidak tepat, sehingga pada akhirnya hakim seperti ini akan diberi gelar sebagai hakim  yang kafir, karena tidak menegakkan konsepsi Al-Quran tentang hukum waris.
6. Dr. Hardono Hadi, antara lain mengajukan pertanyaan ; Jelaskan perbedaan antara kawin dengan nikah ?.
Promovendus memberikan jawaban, bahwa dari sisi bahasa perkawinan dan pernikahan sebenarnya sama saja artinya atau sama maknanya. Jawaban ini benar adanya. Namun penulis ingin mengemukakan pendapat bahwa dari sisi filsafat, kawin dan nikah itu berbeda. Nikah dalam Islam itu mengandung nilai ontologi karena merupakan sesuatu yang tadinya tidak ada menjadi ada, karena kebaradaannya merupakan perintah dari Yang Maha Kuasa, yaitu Allah SWT, sebagai zat yang ada. Dari sisi epistimologi, keberadaan hukum nikah itu mengandung nilai yang sakral dan dilengkapi dengan instrumen-instrumen hukum yang mutlak adanya, artinya apabila instrumen-instrumen itu ditiadakan, maka nilai perkawinan menjadi tidak sah. Dan dari segi aksiologi bahwa nikah itu diperlukan adanya penyerahan tanggung jawab moral dari orang tua kepada calon suami. Dalam konteks pengertian kawin tidaklah terjadi seperti itu dan ini lebih banyak dilakukan oleh penganut agama di luar penganut agama Islam.
            Itulah sebabnya sekitar  tahun 90 an yang lalu, salah satu organisasi keagamaan di  Indonesia, pernah meminta kepada pemerintah Indonesia, agar diberi kesempatan untuk membentuk Peradilan Agama khusus bagi agamanya dan juga Perguruan Tinggi bidang teologi di Indonesia, sebagaimana UIN (Universitas Islam) saat ini. Mereka berpendapat bahwa Peradilan Agama yang ada ini, tidak mencerminkan semua agama secara keseluruhan di Indonesia, akan tetapi Peradilan Agama yang ada sekarang, hanya khusus bagi orang-orang yang beragama Islam. Pada saat itu pemerintah hanya mengabulkan permintaan untuk membangun Sekolah  Tinggi Teologi  dan menolak permintaan untuk membangun Peradilan Agama. Mengapa Pemerintah menolak? Salah satu pertimbangannya, karena pelaksanaan perkawinan yang mereka lakukan itu  tidak lebih dari sebuah seremonial keagamaan dan budaya belaka.  Perkawinan mereka sama sekali tidak ada unsur keterkaitan dengan hukum-hukum sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam. Sebagaimana diketahui bahwa  di dalam Islam, dikenal adanya hukum nikah, hukum wali, hukum ijab kabul, hukum saksi nikah dan hukum mahar dan hukum perceraian, yang meliputi ; talak bain sugra, talak bain kubra, talak raje’i, fasakh,  syikak dan lain-lain.  Oleh karena itu umat lain selain umat Islam, lebih tepat menggunakan istilah perkawinan daripada menggunakan istilah pernikahan.
            Sebagai tambahan illustrasi, bahwa buah salak apabila petani ingin mendapatkan buah dan panen yang lebih besar, maka petani yang bersangkutan harus mengawinkan dulu pohon salak itu, tidak digunakan istilah nikah. Contoh lain, apabila seorang petenak sapi menginginkan anak seekor sapi, maka cukup sapi pejantan dikawinkan dengan sapi betina, di sinipun tidak digunakan istilah nikah. Karena semua itu di dalamnya, tidak ada rambu-rambu hukum. Sehingga kita tidak heran, bila anaknya sapi bisa menjadi suami, sebaliknya ibunya sapi bisa menjadi istri. Kenapa ? karena sapi itu, hanya kawin dan tidak nikah.
Contoh lain seorang laki-laki pergi merantau ke suatu tempat atau daerah lain dan meninggalkan keluarga (istri dan anak-anaknya) di kampung halaman, pada saatnya ia kumpul kebo dengan seorang wanita lain, maka sesungguhnya ia telah kawin, tetapi belum tentu ia menikah, termasuk di dalamnya nikah siri yang hukumnya dilarang di Indonesia dan diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Di sinilah perbedaan antara makna kawin dengan  makna nikah.
            Pertanyaan selanjutnya, di mana letak substansi penelitian Anda bila dihubungkan dengan teori yang dikemukakan oleh Friedman ?
            Promovendus memberikan jawaban, bahwa hubungan penelitiannya dengan teori Friedman, terletak pada ; struktur, substansi dan kultur sebagai suatu sistem dalam penegakan hukum.
            Penulis menilai jawaban tersebut sangat tepat, tentu yang dimaksud oleh promovendus, ketika kita bicara tentang struktur, maka penerapan hukum tentang usia perkawinan tidak terlepas dari peranan lembaga perkawinan yang ada, dalam hal ini, Kantor Urusan Agama Kecamatan. Dan ketika kita bicara bahwa seseorang memerlukan dispensasi kawin, maka tidak terlepas dari peranan lembaga Peradilan Agama, karena pada saatnya nanti, tetap ada kemungkinan orang tua mau dan akan mengawinkan anaknya di bawah usia 21 tahun.
Hubungannya dengan substansi, nampaknya inilah yang paling urgen keterkaitannya, karena penelitian promovendus bisa menjadi  bahan pertimbangan dan kontribusi pemikiran bagi pemerintah dan DPR dalam melakukan revisi terhadap UU No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan,  khususnya pasal 7.
Hubungannya dengan kultur, tentu yang dimaksudkan di sini adalah bahwa budaya dan kebiasaan yang ada selama ini, di mana sang orang tua sering mengawinkan anaknya secara dini dan di bawah umur, diharapkan kedepan tidak lagi terjadi seperti itu. Dan budaya itu harus diubah sesuai dengan konsepsi yang ada dalam disertasi ini.
Dengan demikian angka perceraian, bisa lebih ditekan karena menurut hasil penelitian promovendus, bahwa perkara perceraian di Indonesia lebih didominasi oleh kaum muda, artinya pada umumnya mereka yang berurusan  dengan Pengadilan Agama untuk melakukan perceraian adalah mereka yang telah menikah dini atau menikah di bawah umur. Itulah sebabnya pentingnya pengaturan usia perkawinan hingga usia 21 tahun.
            7. Penguji terakhir salah seorang guru besar dan maha terpelajar, mengajukan tanggapan, bahwa promovendus menggunakan terjemahan Al-Quran Departemen Agama RI  dalam surat An-Nur ayat 33, dari kata ”Al-ayyama”  diartikan sebagai ”sendirian”. Akan tetapi di dalam tafsir Al-Furqaan, diartikan sebagai ” duda atau janda ”.
            Pertanyaannya ; Apa komentar Anda ?
            Promovendus memberikan jawaban bahwa yang dimaksud dengan ”sendirian” di sini termasuk di dalamnya ”janda atau duda” atau juga ”termasuk yang  pernah menikah”.
            Penulis berpendapat, Al-Quran memiliki berbagai macam keistimewaan. Keistimeaan tersebut antara lain susunan bahasanya yang unik dan mempesona, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapapun, walaupun tentunya tingkat pemahaman orang akan berbeda-beda.
Redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya atau tafsirnya secara sempurna, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.
Dalam Al-Quran para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang mereka harus berbeda pendapat atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau yang mereka baca itu.
            Apa yang dikemukakan oleh anggota tim penguji itu ada benarnya, bila kita merujuk pada tafsir Al-Furqan. Tetapi jawaban promovendus juga tepat dan benar, bila kita merujuk pada terjemahan Al-Quran Departemen Agama RI.
 Namun penulis sendiri cenderung berpendapat sama dengan promovendus, karena kata ”Al-ayyamaa” adalah jamak dari kata ”aima”, yang artinya perempuan atau laki-laki yang masih bujang atau lajang (single), alias belum berumah tangga dan mereka itulah yang dianjurkan untuk menikah. Menurut sebagian ulama, perintah pada ayat ini ditujukan kepada orang tua selaku pihak yang akan bertindak sebagai wali nikah[5]. Sekian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial prudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009.
2. Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum ; Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius,Yogyakarta, 2009.
3. Bernard L. Tanya, Yoan N.Simanjuntak dan Markus Y Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
4. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
5. Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
6. M.Quraisy Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1994.
7. Rangkuman kuliah S3, Teori Hukum,  Universitas Islam, Bandung, 2010.
8. Roscoe Poud, Contemporary Jurisdic Theory, dalam D.Llyid (ed), Introduction to Jurisprudence, London, Stecens, 1965.
9. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, (Penjelajahan Suatu Gagasan), Makalah disampaikan pada acara jumpa alumni program Doktor Ilmu Hukum, Undip Semarang, tanggal 4 September 2004.
10. Syekh H.Abdul Halim Hasan Binjai, Penashih ; Lahamuddin Nasution, Tafsir Al-Ahkam, Kencana Praneda Media Group, Jakarta, 2006



[1] Roscoe Poud, Contemporary Jurisdic Theory, dalam D.Llyid (ed), Introduction to Jurisprudence, London, Stecens, 1965.
[2] Bernard L. Tanya, Yoan N.Simanjuntak dan Markus Y Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 155.
[3] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, (Penjelajahan Suatu Gagasan), Makalah disampaikan pada acara jumpa alumni program Doktor Ilmu Hukum, Undip Semarang, tanggal 4 September 2004.
[4]Rangkuman kuliah S3 tentang Teori Hukum, semester3,  Unisba, Bandung, 2010.
[5]Syekh H.Abdul Halim Hasan Binjai, Penashih ; Lahamuddin Nasution, Tafsir Al-Ahkam, Kencana Praneda Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 543.

*) hakim tinggi PTA Jakarta

Selasa, 12 Juli 2011

Usia Perkawinan idial untuk laki-laki 21 tahun untuk perempuan 19 tahun


Menurut laporan di Ditjen  Badan Peradilan Agama, angka perceraian selalu meningkat, dan perceraian disebabkan bermacam-macam alasan, antara lain karena tidak harmonis, tidak tanggungbjawab, percekcokan terus menerus dan lain sebagainya,  tetapi kalu ditelusuri lebih jauh lebih disebabkan karena perkawinan dini. Meskipun Undang-undang nomor  nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur, perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, namun ketentuan umur perkawinan tersebut tidak cocok lagi untuk zaman sekarang. Untuk ukuran sekarang 19 tahun berarti baru lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas,  dan 16 tahun baru lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Tim Penguji ujian Program Doktor

Perkawinan  yang dilangsungkan pada umur tersebut secara phychis dipandang belum siap untuk melakukan perkawinan dengan segala akibatnya, sehingga menurut pengalaman ada persoalan sedikit saja berujung di Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perceraiannya. Menurut promovendus, H. Andi Syamsu Alam SH, MH,  dalam menjawab pertanyan penguji menyatakan, perkawinan diijinkan bagi laki-laki sudah mencapai umur 21 tahun dan bagi perempuan sudah mencapai umur 19 tahun , karena menurut KUH Perdata anak dipandang dewasa kalau sudah  umur 21 tahun, mind set  masyarakat mengawinkan anaknya sebelum umur tersebut, perlu dirubah.
 Setelah menjalani ujian terbuka sekitar 90 menit, promovendus Drs. H. Andi  Syamsu Alam SH, MH, mampu menjawab dengan lancar dan tegas penuh percaya diri. dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude dan berhak menyandang gelar Doktor,  dan setelah itu ddilanjutkan dengan ucapan selamat.

Senin, 11 Juli 2011

Transparansi Pengadilan Agama Sleman

Jumat, 8 Juni 2011 Blog Ikahi diy kebetulan berkunjung ke Pengadilan Agama Sleman, mencoba  melihat bagaimana reformasi peradilan telah dilaksanakan di pengadilan tersebut,  begitu memasuki  lobby,  disuguhi Desk Informasi dan Pengaduan,  touchsreen  terintegrasi  Aplikasi  SIADPA (Sistim Administrasi Peradilan Agama) dan TV Media Center. Unsur-unsur  Itulah  merupakan  pilar  reformasi peradilan  , demikian penjelasan  humas  Pengadilan  Agama  tersebut, selain itu pembayaran  beaya perkara  dilakukan di Bank, sehingga potensi pungutan liar dapat dicegah, paling tidak dapat diminimalisir.

Desk Information
Para pencari keadilan  dapat memperoleh informasi tentang perkara cukup di Desk Information , atau membuka touchscreen  akan  dapat  diakses  tentang perkara, jurnal keuangan , jadwal sidang,  prosedur berperkara dan lain sebagainya yang berhubungan  dengan perkara.

Admin Siadpa dengan Touchscreen
Di Pengadilan Agama tersebut, masyarakat disuguhi dengan TV Media Center,  untuk menonton telivisi sambil  melihat  jadwal persidangan hari itu.
Di lobby tersebut juga  juga dilengkapi dengan Meja Pengaduan untuk menampung keluhan dan laporan masyarakat, yang selanjutnya diserahkan kepada pimpinan untuk ditindak lanjuti.
Pelayanan kepada masyarakat kurang  mampu, Pegadilan Agama Sleman telah menyediakan bantuan hukum, lewat Posbakum ( Pos Bantuan Hukum )  bekerja sama (MOU) dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Fakultas Syari’ah UIN  Yogyakarta dan Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia ( APSI ),  mereka dapat konsultasi dan minta bantuan hukum kepada dua lembaga tersebut dengan beaya Negara. Lebih dari itu  orang miskin dapat mengajukan pekara  secara cuma - cuma( prodeo)  Untuk transparansi  putusan maupun  Anggaran , masyarakat dapat mengakses melalui web site dengan alamat http://www.pa-slemankab.go.id/.
spanduk sosialisasi Pos Bantuan Hukum

Itulah profile Pengadilan Agama Sleman, suatu pengadilan  modern, transparan, efisien, dan putusannya dapat diakses oleh siapa saja, maka benarlah pujian  Cate Sumner & Tim Lindsey  dalam bukunya “ courting Reform “  yakni Pengadilan Agama di Indonesia telah melakukan pembaruan dalam sistem peradilan yang dikenal korup dan inkompeten, dan menjadi yang terdepan dalam upaya memberikan putusan pengadilan yang lebih mudah diakses, transparan, dan adil bagi perempuan dan masyarakat miskin. Pengadilan Agama di Indonesia kini dilihat sebagai pengadilan yang paling terbuka, bersih, dan efisien dari yang dulunya merupakan pengadilan yang tidak dianggap

Rabu, 06 Juli 2011

Seminar Nasional Ahli Waris Pengganti

Ahli Waris Pengganti seperti diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal. Pasal 185 ternyata dalam perkembangannya menuai kritikan, karena ini bukan bersal dari syari’ah, melainkan bersumber dari  BW. Seperti  diketahui KHI merupakan kesepekatan para ulama Indonesia  melalui bebrapa kali loka karya , setelah itu dikemas dengan Inpres  nomor 1 tahun .1991, sebagai hukum terapan Peradilan Agama.  

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah Ketua Pengadilan Tinggi Agama , Drs. H. Akhmad Syarhuddin, SH. MH. memprakarsahi Seminar Nasional Terbatas dengan tema “Ahli Waris Pengganti dalam Perspektif Legal Justice, Philosopical Justice dan Sosiological Justice”, dengan nara sumber  DR. H.M. Fauzan, SH, MH, MM, dari Mahkamah Agung RL Drs. H.A. Mukhsin Asyraf, SH, MH. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Palembang dan  Drs. H. Ahmad, SH, MH. Hakim Tinggi PTA Yogyakarta.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama , Drs. H. Akhmad Syarhuddin, SH. MH

KHI mengatur Ahli Waris Pengganti dalam pasal 185  yang berbunyi :
(1)   Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya  
      dapat digantikanoleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
2)      Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang   
      sederajat dengan yang diganti..

             Seminar akan diselenggarakan di Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta besok hari Senen tanggal 11 Juli 2011, diikuti  Ketua PTA seluruh Indonsia,  Wakil Ketua dan Panitera/Sekretaris  PTA se Jawa, Hakim Tinggi dan seluruh hakim Pengadilan Agama se Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan seminar tersebut diharapkan memperkaya wawasan bagi hakim peradilan agama, yang ujung-ujungnya dapat memberikan inti keadilan bagi masyarakat.


                                                                                                                    


Senin, 04 Juli 2011

Ucapan Bela Sungkawa

Ikatan Hakim Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta dengan ini menyampaikan
Ucapan Bela Sungkawa atas wafatnya Hakim Agung Bapak Moegihardjo, SH
 pada hari Selasa tanggal 28 Juni 2011 di Camberra,  Australia

Teriring doa semoga diterima ibadahnya, diampuni kekhilafannya dan duberikan ketabahan yang ditinggalkan . Amin